§ Bruder
Silvester Huba, SVD
Bruder Silvester Huba, SVD di bilik jahit Ledalero |
Mesin jahit tua itu
berderit-derit tertatih di pojok ruang berukuran sekira 6x8 m2, sebuah
ruang penuh kain dan pakaian setengah jadi. Usianya yang sudah berpuluh-puluh
tahun membuat mesin dayung manual tersebut tampak kesulitan memberi tenaga pada
ujung jarum. Di balik mesin tua itu, Bruder Silvester Huba, SVD tersenyum puas.
Kasula kuning keemasan hasil rajutan tangannya hampir tuntas dikerjakan.
“Mesin jahit ini telah menemani
karya pelayanan saya sejak 1999, tahun ketika saya dipindahtugaskan dari bengkel
jahit St Yosef Ende ke bilik jahit
Ledalero. Lepas 25 tahun berkaul, banyak nilai kehidupan yang saya pelajari dari benda mati ini: tentang kesetiaan,
keteraturan, konsistensi, ketegasan, kesahajaan, kerapian dan keindahan,” tutur
Bruder Sil.
Dua hari sebelum Bruder
Sil merayakan 25 tahun (Perak) hidup berkaulnya, Selasa 6 September 2016, saya
berkesempatan mengunjungi dia di tempat kerjanya, bilik jahit Ledalero. Tujuan
kunjungan saya sebetulnya klasik: membuat wawancara, mengambil foto dan menulis
laporan berkenaan dengan karya pelayanan sang bruder yang mengambil moto kaul
dari Lukas 22:42b, “... Kehendak-Mulah
yang terjadi”.
Namun, hasil yang saya
peroleh ternyata sangat jauh dari hal remeh-temeh - percakapan ngalor-ngidul yang sukar dipastikan
pangkal apalagi ujungnya. Dari bilik jahit, saya membawa pulang bukan sekadar
kisah tunggal bruder kelahiran Watuwawer-Hokeng 48 tahun silam ini, melainkan
juga kebajikan-kebajikan hidup yang menginspirasi penghayatan kaul kebiaraan
saya. Terasa unik, kebajikan hidup itu tidak saya peroleh dari kotbah imam di mimbar
sabda atau nasihat pembimbing rohani di meja pertemuan – sebagaimana biasa,
melainkan dari seorang bruder yang terkenal hemat bicaranya, dari balik mesin
jahit.
Menurut penuturan
Bruder Sil, menjalani profesi sebagai penjahit bukanlah karya pelayanan yang
mudah dijalani. Ada banyak tantangan yang mesti dihadapinya sejak awal
penentuan profesi hingga saat ini. Tantangan pertama dihadapi Bruder Sil ketika
pada awal 1992 dia diminta Pater Yan Djuang Tukan, SVD - Magister Novis II di
Biara Bruder St Konradus (BBK) waktu itu – untuk memilih profesi menjahit. Bruder
Sil menolak. Ia menyatakan keberatannya untuk menjalani profesi ini dengan mempertimbangkan
beberapa alasan: pertama, profesi menjahit cenderung dianggap sebagai profesi
tradisional, kurang populer di abad
modern. Kedua, dirinya tidak memiliki
kemampuan dalam bidang menjahit; ia sama sekali tidak tahu menjahit.
“Alasan ketiga, selama
masa Yuniores I (1991-1992) saya diminta untuk mengembangkan bakat dalam bidang
percetakan di Percetakan Arnoldus Ende, dan saya menyukai bidang itu. Mengapa saya
tidak diberi kesempatan untuk melanjutkan profesi itu saja dan mesti menekuni
profesi baru sebagai penjahit?” kisah Bruder Sil.
Meskipun ada sedikit penolakan
dari dalam diri, atas nama ketaatan dan kepatuhan pada suara Tuhan dan pembesar,
Bruder Sil pada akhirnya menyatakan kesiapannya untuk menekuni profesi
menjahit. Pernyataan kesiapan inilah yang mengantarnya ke Ledalero pada
bulan-bulan akhir 1992 untuk belajar menjahit di bilik jahit Ledalero.
Pada hari pertama di
bilik jahit Ledalero, Bruder Sil langsung disuguhi pertanyaan sulit oleh kepala
bilik jahit waktu itu, Bruder Hubertus Embu SVD: “Bisa dayung mesin jahit?” Bruder
Sil tunduk, menggelengkan kepala. Mendengar jawaban itu, Bruder Hubert - yang suka
bergerak cepat sehingga konfrater muda menjulukinya Bruder Speedy – bergegas menuju
gudang dan membawa pulang beberapa sak semen. Ia menggambar pola-pola berupa
garis lurus pada sak semen tersebut, lalu memberikannya kepada Bruder Sil.
“Pelajaran pertama
adalah melatih kelincahan kaki untuk mendayung mesin, kejelian mata untuk melihat
kesesuaian gerak jarum dengan garis dan keterampilan tangan untuk mengatur
kain. Pergilah ke mesin jahit yang di pojok itu dan berlatihlah di sana,”
perintah Bruder Hubert.
Maka demikianlah,
bruder muda yang sudah telanjur jatuh cinta pada percetakan itu diminta menceraikan kembali
pilihan hatinya, lalu diarahkan untuk mencintai dunia jahit-menjahit. Memang
tanpa paksaan, tapi tetap melahirkan tantangan. Ia memulai pelajaran menjahitnya
pada sebuah mesin tua di pojok ruangan. Bukan pada sehelai kain lenan yang
halus, seperti bahasa pemazmur, melainkan pada sak semen yang kasar lagi dekil.
Tanpa benang, hanya jarum karatan yang terus menikam sak semen, meninggalkan
jejak yang tak boleh menyimpang atau menyamping, mesti tetap pada garis-garis
lurus.
Siapa pernah
membayangkan, bahwa bertahun-tahun kemudian, bruder yang dulu pernah menjahit
pada sak semen itu, sudah menghasilkan puluhan kasula, ratusan jubah, jas, baju,
celana dan lain-lain. Bersama para karyawan di bilik jahit – Om Yulius Badar,
Nona Sisilia Paskalia dan Nona Afrida Agnes Lelo – Bruder Sil telah menjahit aneka perlengkapan liturgis,
baik dalam komunitas Seminari Tinggi St Paulus Ledalero maupun pesanan dari luar
komunitas. Selain itu, Bruder Sil dan para karyawannya juga menjahit berbagai kebutuhan
rumah tangga, dari dapur hingga kamar tidur.
Selain mengalami
tantangan dalam bidang profesi, Bruder Sil juga mengalami beberapa tantangan lain
yang lebih umum berkaitan dengan perjalanan panggilannya. Salah satu tantangan
terberat adalah kondisi kesehatan sang ibu, Alm. Mama Theresia Ude, yang tidak
pernah membaik sejak Bruder Sil masih di bangku pendidikan menengah.
“Sebelum akhirnya wafat
pada 2010, kondisi kesehatan Mama tidak terlalu baik. Sepanjang hidupnya, Mama
cukup menderita dengan sakitnya, sebuah penyakit yang tidak pernah diketahui
secara pasti apa namanya. Lima kali Mama menerima Sakramen Minyak Suci, hingga
akhirnya berpulang dalam damai. Hal ini tentu saja membuat saya kurang nyaman
dalam menjalani panggilan hidup di biara,” kenang Bruder Sil dengan mata
berkaca-kaca.
Mendengar kisah Bruder
Sil, saya pun diam terpekur, rasanya berat bagi dia untuk lalui ini semua. Apalagi
bila mengingat statusnya sebagai kakak sulung dari empat adik – Magdalena Nipa,
Modesta Tuto, Maria Liko, dan Alm. Siprianus Bala. Beberapa peristiwa lain
dalam keluarga yang juga memperberat perjalanan panggilannya selain sakit dan
kematian sang ibu adalah kematian adik bungsu Siprianus Bala karena kecelakaan
pada 2001 dan kematian sang ayah Yakobus Kedang
pada 2012.
Meskipun mengalami
berbagai tantangan berat dalam hidup dan panggilan, hati Bruder Sil tidak
pernah menjadi tawar dalam menanggapi cinta kasih Allah. Seturut moto “...
Kehendak-Mulah yang Terjadi” pilihannya, Bruder Sil senantiasa berjuang untuk pasrah
pada kehendak Allah. Dia yakin, Allah punya rencana tertentu dalam hidup dan
panggilannya, dan rencana itu selalu yang terbaik. Itulah sebabnya mengapa
Bruder Sil tidak terus terlarut dalam duka, melainkan berani membuka diri
terhadap pengalaman-pengalaman berahmat yang juga pernah ia terima dari Allah
dan sesama.
Menurut Bruder Sil, pengalaman
berahmat yang pernah ia alami antara lain ketika pada 1988 kedua orangtua dan
keluarga besar merestuinya menjadi bruder dengan melamar ke Postulat Bruder SVD
di BBK Ende. Dalam konteks budaya Flores, statusnya sebagai laki-laki sulung
dalam keluarga sebetulnya bisa membatalkan niatnya untuk masuk biara. “Namun
Allah berkehendak lain, Ia memberi jalan kepada saya dan keluarga, dan saya pun
menaruh percaya pada kehendak-Nya itu,” ungkapnya.
Bruder Sil juga mengaku
mengalami rahmat Allah ketika SVD menerimanya menjadi anggota tetap melalui
pengikraran Kaul Kekal pada 1997. Ia juga merasa bangga dan bahagia karena
diberi kesempatan untuk menekuni profesi menjahit, sebuah bidang karya yang
pernah ditolaknya bertahun-tahun silam.
“Seperti halnya profesi
perkebunan atau peternakan, profesi menjahit kadang dipandang sebelah mata,
bukan hanya oleh orang luar Serikat tetapi juga dalam kalangan SVD sendiri. Saya
mau tegaskan bahwa pandangan ini salah, sebab meskipun lebih banyak bekerja
dalam senyap di belakang panggung, tapi Serikat tetap membutuhkan jasa seorang
bruder penjahit. Jika Serikat membutuhkan tenaga dan keahlian saya, maka tidak
ada alasan bagi saya untuk menolak berbangga,” kata Bruder Sil.
Rahmat paling besar, menurut
Bruder Sil, dialaminya pada perayaan 25 tahun kaulnya pada tahun 2016 ini. Secara
singkat Bruder Sil merefleksikan makna perayaan perak ini pertama-tama sebagai
kesempatan baginya untuk mengevaluasi diri dan karya. Bersamaan dengan itu,
Bruder Sil juga ingin menyatakan syukur atas kasih dan berkat Tuhan yang telah
menyertai dia selama 25 tahun berkaul.
“Pada perayaan 25 tahun
berkaul ini saya secara istimewa mengucapkan terima kasih kepada Pater Superior
General SVD dan Dewan, Pater Provinsial SVD Ende dan Dewan, Pater Rektor
Seminari Tinggi St Paulus Ledalero dan Dewan, para guru dan pendidik, para
konfrater, karyawan-karyawati, keluarga, pendoa, penderma, serta semua orang
yang dengan cara masing-masing telah berjasa dalam perjalanan hidup dan
panggilan saya. Tanpa kalian, saya bukan siapa-siapa,” ujar Bruder Sil.
Pada ujung pembicaraan,
saya mengajak Bruder Sil untuk berbincang tentang para konfrater muda – frater
dan bruder – yang sedang dalam proses pembinaan menjadi imam dan anggota tetap
SVD. Dengan sedikit bercanda Bruder Sil mengatakan bahwa konfrater-konfrater
muda zaman ini banyak menampilkan diri sebagai pribadi yang bergaya modern, sangat berbeda dengan konfrater
pendahulu.
“Menjadi pribadi yang serba
modern, khususnya dalam tutur kata, tingkah laku dan cara berbusana memang tidak
dilarang. Zaman sudah berubah, gaya hidup para frater dan bruder berkaul
sementara pun – tidak bisa tidak - turut berubah di dalamnya. Namun demikian,
hendaklah kita tetap berpegang teguh pada nilai-nilai religius sebagai orang
yang mendengar panggilan khusus dari Tuhan. Karena itu, mesti ada perbedaan
tampilan diri antara seorang frater atau bruder dengan pemuda-pemuda awam di
luar biara. Acuannya apa? Yah, tiga
kaul kebiaraan itu, ” katanya.
Penulis : Frater Yovan Rante, SVD |
No comments:
Post a Comment