§
Pater Hubertus Tenga, SVD
![]() |
Pater Hubert Tenga, SVD |
Pater
Hubertus Tenga, SVD dilahirkan di Mbay pada 3 November 1967. Ibunya, Klara
Rugha adalah seorang penenun yang terkenal pada masa itu dan ayahnya, Blasius
Ame adalah seorang yang multitalent
karena mampu mengerjakan berbagai profesi sekaligus, seperti bertani, melaut, berdagang,
dan sebagainya. Ia anak keempat dari enam bersaudara (2 putra, 4 putri).
Sejak berusia
enam tahun, Pater Hubert telah “keluar rumah” untuk menimba ilmu di Boawae. Praktis ayahnya sedih. Namun
niat bersekolah mengalahkan tantangan pertama ini. Di Boawae, Hubert kecil tinggal bersama bapak kecil - adik dari bapaknya
- yang adalah seorang didikan SVD di SMAK
Syuradikara Ende.
Dari bapa kecilnya inilah ia belajar berbagai kualitas hidup seperti hidup
kasih dan disiplin. Seiring perjalanan waktu, sang ibu berpulang setelah Hebert kecil Komuni
Pertama, saat ia masih kelas 4 SD (tahun 1979), sedang
ayahnya berpulang pada tahun 2012 silam.
Setelah
menempuh Sekolah Dasar di Boawae, Pater melanjutkan pendidikan di SMPK Frateran
Ndao. Mula-mula Pater sudah punya keinginan untuk masuk ke Seminari Mataloko,
tetapi keinginannya itu baru bisa terwujud saat SMA, karena pada waktu itu SMP
Seminari Mataloko ditutup. Di SMA Seminari Mataloko, Pater Hubert bertemu dengan
imam-imam SVD di antaranya Pater Kurt Bart, SVD, (alm) Pater Alfons Engels, SVD, Pater Ben Bria, SVD serta beberapa imam dan
bruder lainnya yang menginspirasinya untuk masuk dan bergabung dalam Serikat
Sabda Allah.
Kemudian ia
masuk ke Novisiat SVD Nenuk, studi filsafat pada STFK Ledalero dan lulus dengan
predikat cum laude. Menjalani Tahun
Orientasi Pastoral (TOP) di Paroki Naikoten Kupang dengan Pastor Paroki waktu
itu Pater Blasius Fernandez, SVD, dan menjadi
satu-satunya frater TOP yang kembali tanpa membawa rekomendasi dari pastor
paroki. Tetapi berkat bantuan dari berbagai pihak dan konfrater SVD di
Ledalero, akhirnya dia diperkenankan mengikrarkan kaul kekal dengan tempat
tugas yang pertama di Brazil Selatan.
Setelah
menjalankan refleksi yang cukup panjang, dia akhirnya memilih motto kaul
“Tetapi Harta ini Kami Punyai dalam Bejana Tanah Liat”. Moto ini menjadi
representasi dari keadaan dirinya yang tampil apa adanya. Menurutnya, motto ini tepat
sesuai dengan tipikal dirinya yang sangat realistik dengan apa pun. Ia sadar
bahwa ia adalah sosok yang rapuh dan lemah. Kekagumannya pada tokoh Paulus juga
menjadi latar belakang dia memilih motto ini. Ia seperti Paulus yang sekalipun
memiliki banyak harta, tetaplah seperti bejana tanah liat. Selama di Brazil,
beliau pernah studi leadership di Rio
de Janeiro. Di sana, dia sempat mengalami shock
karena kekerasan dan pembunuhan yang lazim terjadi.
Pada tahun
2003, dia harus kembali ke Provinsi Ende (provinsi asalnya) karena alasan
kesehatan, dan saat itu dia diminta untuk menjabat sebagai Sekretaris Misi (Sekmis),
tetapi ditolaknya. Baru pada tahun 2004, ia menerima tugas tersebut.
Perjalanan
panggilan Pater Hubert berjalan bersama dengan waktu. Pengalaman yang
mengiringi perjalanan Pater adalah sebuah rahmat yang sangat ia syukuri. Sebab
dari sanalah ia menjadi dewasa. Kegembiraan Pater lebih banyak nampak dalam
tindakannya melakukan hal-hal kecil dan sederhana. Ia selalu melakukan hal-hal
kecil dengan kegembiraan yang besar. Ia tidak suka mencampuri pribadi orang
dengan pekerjaannya. Prinsip inilah yang selalu dipegangnya tatkala ia bekerja
sebagai Sekmis provinsi SVD Ende. Ia dipercayakan menjadi Sekmis provinsi SVD
Ende sejak kepemimpinan provinsial Pater Niko Hayon, Pater Amatus Woi, Pater Kondrad Kebung dan sekarang Pater Leo Kleden.
Kecintaannya
pada sastra dan beberapa sastrawan seperti Pramoedya Ananta Toer, Ahmad Tohari
dan Paulo Coelho menjadikan Pater Hubert seorang yang sangat menikmati seni.
Baginya seni adalah keindahan serentak keteraturan. Saat paling menyenangkan
terakhir yang dialaminya adalah ketika ia setia melayani ayahnya di saat sang
ayah berada dalam masa kritis. Ia bahagia bisa menemani saat-saat berahmat
bersama ayah. Ayah yang sedari dulu menjadi tokoh anutannya. Ayah yang telah mengajarkannya
tentang hidup miskin, taat dan murni.
Di sisi lain,
Pater juga tak memungkiri bahwa ia pernah mengalami masa-masa krisis dalam
panggilan hidup membiaranya. Masalah kesehatan adalah hal paling utama yang
terus-menerus dialaminya. Namun dia tetap bersyukur pada Tuhan karena daya
tahan tubuh yang kuat yang memampukannya untuk mengalahkan segala
sakit-penyakit yang datang. Sewaktu berada di Brazil, Pater sempat melakukan
cek kesehatan. Ia divonis mendapat gangguan lever dan gangguan jantung. Hal ini
menyebabkan dia harus menelan obat selama tiga bulan. Di saat-saat itu, Pater
sempat mengalami depresi bahkan sempat terbersit dalam benaknya untuk melupakan
Tuhan. Tuhan sudah tiada lagi. Pater Hubert akhirnya pergi memeriksakan
kesehatannya lagi. Di sana semua gejala yang divonis sebelumnya sudah negatif,
bahkan dokter mengatakan bahwa sakit yang diidap itu sebetulnya merupakan
ciptaan pikiran Pater sendiri. Selain masalah kesehatan, masalah tugas dan
pekerjaan juga menjadi tantangan tersendiri bagi Pater. Tantangan terbesar
datang dari diri sendiri: sejauh mana bisa mengendalikan dan memenangkan diri
sendiri. Juga tantangan menghadapi konfrater dengan semua perbedaan yang ada.
Dua puluh
lima tahun menghidupi kaul-kaul dalam Serikat Sabda Allah merupakan hal yang
sangat tidak terasa baginya. Rasanya baru kemarin. Ia berterima kasih kepada
para formatornya yang kini masih tinggal sekomunitas dengannya (Pater Yanus Lobo dan Pater Nadus Bunga). Kedua sosok ini sangat
membantu Pater. Pater menjadi setia hingga saat ini oleh karena keterikatan dirinya
yang kuat pada sosok Yesus. Yesus yang telah lebih dahulu memberi contoh
kepadanya sampai pada ditolak dan dikhianati. Baginya, sesama adalah semua
orang. Sesama ialah siapa saja, baik yang disukai maupun yang tidak disukai.
Hidup bersama perlu adanya perasaan untuk saling menjaga. Mengutip Paulo
Coelho: Kalau kita berbuat baik, seluruh alam raya akan gotong-royong membantu
kita. Hidup baik dengan sesama tidak berarti harus saling menyenangkan satu
sama lain.
Di akhir
pembicaraannya Pater mengungkapkan keprihatinan serentak harapannya kepada para
konfrater muda. Konfrater muda zaman sekarang terlihat begitu individualistis.
Mereka lebih sibuk dengan diri mereka sendiri, di kamar, dengan aktivitas pribadi
masing-masing. Di sisi lain, konfrater muda juga sudah mulai kehilangan individualitasnya.
Segala hal yang sebetulnya bersifat pribadi akhirnya menyebar sampai ke ruang
publik. Pater menegaskan bahwa setiap pengalaman tidak harus dimamahbiakkan begitu saja. Harapannya semoga konfater muda menjadi lebih dewasa dalam seluruh
hidup dan motivasi panggilan mereka.
![]() |
Frater Frano Kleden, SVD & Frater Dennis Hayon, SVD |
Mohon dukungan doa untuk saya sudah 5 tahun sakit stroke dan insomnia. Terima kasih. Melchior Suroso
ReplyDelete