Wednesday, November 15, 2017

Ledalero Vs Ritapiret



Seminariledalro.org – Duel bertajuk big match tersaji di lapangan sepak bola Wairpelit pada Rabu (8/11) antara kesebelasan tingkat I Ledalero melawan kesebelasan Tingkat I Ritapiret. Ini merupakan laga persahabatan pertama yang mempertemukan kedua konvik di tahun ajaran yang baru. Pertandingan dimulai tepat pukul 15.30 dengan wasit utama Frt. Muche, SVD dibantu dua wasit garis, Frt. Erwin, SVD dan Frt. Remon, SVD.  Berstatus sebagai tuan rumah, kesebelasan tingkat I Ledalero tampil dengan kekuatan penuh, yang merupakan  kombinasi dua unit, Gabriel dan Mikhael. Di bawah komando sang kapten, Will Oki, Skuad Ledalero berambisi mempertahankan tren positif kala bersua sang musuh bebuyutan. Sementara itu, skuad Ritapiret yang turun dengan kostum biru langit punya misi untuk mempermalukan Ledalero di kandangnya sendiri. 

Sejak peluit kick-off babak pertama dibunyikan, kedua tim gencar melakukan tekanan ke daerah pertahanan lawan. Kedua tim saling berjual-beli serangan, mencoba mencari celah mencetak gol. Barisan penyerang tim Ledalero yang dipimpin oleh Iso Olong dan Randy Max beberapa kali menciptakan  peluang  di mulut gawang tim Ledalero. Peluang emas diciptakan Iso ketika tendangan kerasnya membentur mistar gawang Ritapiret yang dikawal oleh Fredy Judin.
Foto bersama sebelum pertandingan
Hal ini sontak membuat kubu suporter ritapiret terdiam sejenak. Suplai bola dari lini tengah masih menjadi kekuatan tim Ledalero. Bogdan, Riko dan Erik  yang menjadi jenderal lapangan tengah bahu
-membahu membagun serangan dari kaki ke kaki. Gol baru tercipta di menit ke 25. Randy Max sukses menjalankan tugas sebagai eksekutor tendangan pinalti menyusul pelanggaran keras yang dilakukan pemain belakang Ritapiret. Namun, keunggulan ini tidak bertahan lama. Blunder yang dilakukan oleh Thias Banusu berakibat fatal. Kesebelasan Ritapiret berhasil menyamakan kedudukan lewat kaki Vorsal. Babak pertama berakhir dengan skor 1-1.

Pada babak kedua, tensi permainan semakin tinggi. Kedua kesebelasan berusaha membangun serangan yang lebih intensif demi mencetak lebih banyak gol. Kubu Ritapiret sempat terhenyak ketika Iso berhasil menggandakan skor menjadi 2-1 lewat tandukkannya setelah menerima umpan cantik dari Bogdan. Tersentak dengan gol ini, kubu Ritapiret tidak patah arang. mereka tidak mengendurkan serangan dan bermain tanpa beban. Hasilnya, pada menit ke-70 mereka kembali berhasil menyamakan kedudukan lewat tandukan Filmon Rotok. Dalam posisi imbang, pertandingan menjadi semakin panas dan penuh ketegangan. Sisa pertandingan diwarnai dengan beberapa insiden perseteruan bahkan percekcokan. Skor 2-2 bertahan hingga akhir laga. Kedua kubu harus puas dengan hasil imbang ini.

Ketegangan yang dirasakan antara kedua kubu selama pertandingan berangsur pudar lewat jamuan makan kolak yang diadakan di kamar makan Unit Gabriel. Ini menjadi penutup rangkaian pertandingan persahabatan. “Menang kalah itu biasa, persaudaraan itu yang luar biasa”, ungkap Iso di akhir acara. (Gusty Siga/Tingkat I Unit Gabriel)

Unit Rafael Gelar Seminar Tentang Teror Atas Nama Agama



Seminariledalro.org – Seksi Akademi unit Rafael menggelar Seminar tentang teror atas nama agama bertempat di Kamar Makan unit Rafael, Selasa (14/11/2017). Seminar ini dibawakan oleh Frater Leo Sivester, SVD dan dimoderasi oleh Frater Ferdi Jehalut, SVD. Judul  yang diangkat oleh pemateri dalam seminar kali ini ialah  “Teror atas nama Agama dalam Perspektif Banalitas Kejahatan Hannah Arendt”. Pelaksanaan kegiatan ini menjadi suatu bentuk latihan pertanggungjawaban Skripsi sebagai tugas akhir di STFK Ledalero.
           
 Pembicara Frater Leo Silvester, SVD
Kegiatan dimulai tepat pada pukul 20.30 dan berakhir pada pukul 22.00 Wita. Turut hadir dalam kegiatan ini, Prefek unit Rafael, Pater Yosep Keladu Koten, SVD dan anggota unit Rafael yang berjumlah 40 orang. Disaksikan Seminarledalero.org, para peserta begitu antusias mengikuti seluruh rangkain seminari sejak awal hingga selesai.
Pada bagian awal pemaparan materinya, Fr. Leo Silvester mengutip pendapat C.P. Snow yang menegaskan bahwa akar kejahatan umat manusia banyak dilakukan atas kepatuhan dari pada pemberontakan. “Jika kita memandang sejarah panjang dan kelam dari umat manusia, orang akan menemukan bahwa lebih banyak kejahatan yang menjijikan dilakukan atas nama kepatuhan dari pada atas nama pemberontakan.”
Lebih lanjut pemateri menegaskan, kepatuhan bukanlah suatu kehormatan tetapi kepatuhan negatif yang menyulut para pelaku kejahatan untuk mengumbar kejahatan di ruang publik. Penyebab utamanya adalah kekosongan yang diakibatkan oleh indoktrinasi paham kekerasan.
Salah satu contoh korban indoktrinasi adalah Eichmann yang memainkan peran penting di balik peristiwa pendeportasian banyak orang Yahudi ke Kamp konsentrasi dan melakukan pembunuhan massal terhadap jutaan orang Yahudi atas nama ketaatan buta terhadap perintah Hitler dan ideologi Nazi.
            Korban indoktrinasi atau dikenal dengan istilah pencucian otak ini ditafsir oleh pemateri dalam terang pimikiran Hannah Arendt tentang banalitas kejahatan. Menurut pemateri, Hannah Arendt melihat banalitas kejahatan dalam diri Eichmann. Pemahaman banalitas menurut Arendt mengarah  pada kekosongan yang membuat korban, dalam hal ini Eichmann, menafikan peran nalar untuk berpikir kritis. Akar utamanya ialah ketiadaan daya pikir dari korban.
            Dalam pertanggungjawabannya di hadapan pengadilan di Yerusalem, demikian Frater Leo, mengutip Hannah Arendt, Eichmann merasa tidak bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya. Bahkan ia sendiri merasa tidak bersalah ketika ditanyai oleh hakim, karena ia hanya menjalankan perintah atasannya. Atas dasar itu, Arendt berargumen bahwa kejahatan yang dilakukan  oleh Eichmann adalah kejahatan yang banal karena ketidakmampuan berpikirnya ketika dihadapkan dengan kondisi-kondisi totalitarisme yang menggiringnya ke dalam tindakan kriminal melawan orang Yahudi.
            Kemudian Frater Leo menegaskan bahwa, apa yang dialami oleh Eichmann tidak jauh berbeda dengan yang dialami oleh para teroris yang bergabung dengan kelompok-kelompok radikal keagamaan. Mereka adalah orang-orang yang terasing dan teralienasi akibat perkembangan modernisme. Mereka kemudian berlindung di balik kelompok-kelompok radikal yang memberikan mereka identitas yang pasti, serta jaminan hidup bahkan jaminan hidup di akhirat walau harus merendahkan diri atau taat secara buta terhadap pimpinan mereka.
            Menurut Frater Leo, persoalan terorisme juga dikaitkan dengan radikalisme atas nama agama dan indoktrinasi otak yang menampilkan kedangkalan berpikir manusia. Para teroris tidak lain adalah korban indoktrinasi paham-paham keagamaan yang radikal. Namun lebih dari itu, teror atas nama agama juga berkaitan dengan proses kedangkalan berpikir atau ketidakmampuan berpikir manusia. Mereka juga adalah orang-orang yang tidak mampu berimaginasi, membayangkan posisi orang lain terutama orang-orang yang inosen yang kehilangan nyawanya hanya karena ketaatan buta terhadap perintah “agama”.
            Tesis yang diangkat oleh pemateri dalam Seminar ini memantik rasa ingin tahu dan partispasi dari segenap peserta. Ada banyak pertanyaan dari forum. Salah satu pertanyaan yang memantik partisipasi semua perserta seminar ialah pertanyaan dari Fr. Edo Putra, SVD, yang mempertanyakan penyebab indoktrinasi yang disebabkan oleh ketiadaan berpikir. Menurutnya, penyebab ini kurang masuk akal. Eichmann sendiri adalah seorang intelektual. Kekayaan intelektual ini membuat dia mampu berpikir. Adalah tidak masuk akal, jika Echmann dalam tindakannya itu tidak sedang berpikir.
Menjawabi pertanyaan itu, Frater Peter Tan, Mahasiswa Pascasarjana di STFK Ledalero, membedah substansi pemikiran Arendt. Ketiadaan berpikir dalam terang pemikiran Arendt bukan karena tidak berpengetahuan tetapi kekosongan yang membuat orang tidak mampu berpikir kritis. Selain Frater Peter, Frater Faris, Mahasiswa tingkat IV yang juga menulis skripsi tentang Hannah Arendt, menegaskan bahwa berpikir menurut Arendt dibedakan dengan rasionalisasi. Berpikir menurut Arendt selalu dikaitkan dengan kenyataan bagaimana si subjek yang bepikir berimaginasi tentang akibat apa yang ditimbulkan terhadap orang lain bila ia mengaktualisasikan suatu keputusan dalam tindakannya. Sedangkan rasionalisasi tanpa pertimbangan semacam itu.
            Hal yang sama juga ditegaskan oleh pemateri, Frater Leo Silvester. Ia menjelaskan secara rinci pembedaan “berpikir” dan “rasionalisasi” menurut Hannah Arendt. Dalam hal ini, ia sebenarnya mau menegaskan kembali apa yang dijelaskan oleh forum sebelumnya.
            Sebelum diskusi berakhir, moderator, Frater Ferdi Jehalut, memberikan kesempatan kepada Pater Yosef Keladu Koten yang juga sebagai pembimbing skripsi dari pamateri, untuk berbicara. Sebagai orang yang ekspert dalam bidangnya, Pater Yosef, dosen Filsafat di Ledalero itu memberikan beberapa buah penjelasan yang membuat para peserta seminar merasa puas. Setelah pater memberikan satu dua penegasan, moderator lansung menutup kegiatan seminari secara resmi. 
(Frater Ferdi Jehalut, SVD dan Frater Rio Nanto, SVD)
           

Tuesday, November 14, 2017

Seminar Kapitel Komunitas Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero

Seminariledalero.org
Seminari Tinggi Ledalero mengadakan seminar komunitas pada hari Kamis (9 November 2017) sore. Seminar kapitel ini diadakan sebagai persiapan menyosong Kapitel Umum XVIII dan IDE (Indonesia Distrik Ende) XXIII. Di bawah tema ‘Kasih Kristus Mendesak Kami’ beberapa pokok penting seputar serikat dibicarakan secara bersama.
P. Hubert Thomas, SVD, selaku pembicara utama, mengajak para konfrater yang hadir melihat empat pokok penting yang dibahas dalam seminar bersangkutan. Empat poin tersebut antara lain yakni jati diri SVD, Renstra IDE 2016-2018, Kapitel XVIII dan IDE XXIII.
 “Misi kita harus menghasilkan kebebasan, bukan dari posisi dominan menjadi mendominasi melainkan menjadi rekan-rekan kerja yang setara,” katanya.
Jati diri serikat SVD dalam tapal sejarah berlangsung dalam konteks-konteks sejarah yang bervariatif. Terhitung sejak tahun 1875 hingga masa Konsili Vatikan II, serikat bentukan St. Arnoldus Janssen ini tampil konsisten berorientasi misioner. Serikat Sabda Allah hidup dalam spiritualitas passing over, dengan menghidupi misi-misi tapal batas. Selain misi teritorial, misi lintas kemanusiaan juga menjadi prioritas yang ditekankan.
“Tujuan misi kita yang sejati adalah membangun masyarakat alternatif, Republik Allah, dengan jalan memberdayakan komunitas-komunitas kecil di tengah masyarakat beriman,” kata P. Hubert, SVD.
Lebih lanjut beliau menyatakan bahwa sebelum memberdayakan umat beriman, semua konfrater harus bemisi secara ad intra, ke dalam. Pengalaman akan Allah yang penuh kasih hendaknya menjadi titik tolak misi tersebut. Yang paling pertama adalah membiarkan diri untuk diresapi oleh cinta Allah, baru kemudian bermisi secara ad extra di tengah umat.
Dalam seminar tersebut, sempat dibahas pula Renstra Provinsi Ende. Dalam Renstra (Rencana Strategis) tersebut, P. Hubert Thomas, SVD, memaparkan skema perencanaan misi serikat. Skema tersebut memuat tiga elemen penting yakni, analisis sosial masyarakat, refleksi biblis-teologis, dan bermuara pada tanggapan pastoral.
Fr. Kamilus D. Bakang, SVD, selaku moderator seminar memberikan kesempatan kepada para konfrater yang hadir untuk bertanya dalam sesi diskusi. Beberapa konfrater mengajukan pertanyaan seputar topik yang dibahas.
Fr. Venan Meolyu, SVD, sempat bertanya tentang orientasi keberpihakan serikat pada kaum pinggiran. Kaum pinggiran  adalah orang-orang miskin, para korban Human Trafficking, kaum ODHA, dan segenap orang yang hidup di bawah penderitaan. Pada merekalah serikat harus memberi pelayanan. Namun, kaum pinggiran pun tak selalu benar. Banyak di antara mereka juga yang hidup secara ‘tidak sehat’.
“Pada dasarnya, keberpihakan kita adalah pada orang pinggiran dengan tetap berorientasi pada kebenaran. Kalau mereka ‘salah jalan’, maka tugas kitalah untuk mengatakan kebenaran,” jawab P. Hubert Thomas, SVD atas pertanyaan tersebut.
Seminar tersebut dimulai pada pukul 18.00-19.30 dan bertempat di aula St. Thomas. Karena keterbatasan waktu, dua poin terakhir tidak sempat dibahas.
Seminar kapitel tersebut terselenggara berkat kerjasama dengan seksi akademik komunitas Seminari Tinggi, Fr. Kristianus Erik Ebot, SVD. Semua konfrater dari unit-unit hadir, mulai dari konfrater yang berkaul sementara hingga yang berkaul kekal. Dengan pertemuan semacam ini, para konfrater diajak untuk berpartisipasi dalam memahami dan mengembangkan karya serikat secara lebih efektif.
Kegiatan seminar kapitel ini diselenggarakan di tingkat komunitas Seminari Tinggi Ledalero agar para konfrater mengetahui isi Kapitel XVIII dan IDE XXIII yang akan dibuat pada tahun 2018. Hasil kapitel serikat banyak berbicara seputar peran serta semua konfrater dari berbagai tingkatan dalam mengembangkan karya misi serikat. Untuk itu semua konfrater dituntut untuk memahami isi setiap kapitel yang dilaksanakan oleh provinsi di mana ia berada.


(Fr. Geovanny Calvin, SVD)