Wednesday, December 20, 2017

Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero Membuka Masa Adven



Seminariledalero.org
            Seminari Tinggi St Paulus Ledalero mengadakan kegiatan rekoleksi dan pemberkatan karangan adven, Sabtu (2/12/2017). Kegiatan ini diikuti oleh semua anggota komunitas Seminari Tinggi St Paulus Ledalero: para frater, pater, bruder dan para suster SSpS biara St Yosef Wairpelit. Rangkaian kegiatan pembukaan masa adven ini dilaksanakan dalam dua bagian. Pada bagian pertama, Pater Agus Alfons Duka, SVD membawakan rekoleksi persiapan masa adven. Pater Maternus Kehi, SVD pada bagian kedua memimpin ibadat pemberkatan karangan adven. Rekoleksi dan ibadat dilaksanakan di Kapela Agung Seminari Tinggi St Paulus Ledalero.
            Pater Agus Alfons Duka, SVD dalam bagian awal rekoleksinya menyampaikan bahwa tema rekoleksi yang dibawakannya terinspirasi oleh dua pertanyaan penting dalam kapitel rumah Seminari Tinggi St Paulus Ledalero yang terlaksana bulan November. Dua pertanyaan itu adalah, apakah semangat hidup rohani menjiwai karya misi kita dan sebaliknya, apakah kegiatan misi kita memberi makna bagi penghayatan hidup rohani kita? Pada rekoleksi ini Pater Agus memberi penekanan pada pertanyaan kedua. “Di tengah dunia yang penuh dengan kekerasan, pembunuhan dan aneka penderitaan yang dialami oleh banyak orang, bagaimana situasi sosial ini memberikan makna baru bagi penghayatan hidup rohani kita”, demikian Pater Agus merumuskan ulang pertanyaan kedua dalam kapitel rumah Ledalero ini.
            Dalam menjawabi pertanyaan di atas, dosen mata kuliah komunikasi ini menegaskan bahwa sebagai satu komunitas kita mesti sanggup mengambil bagian dalam opsi utama Allah yaitu membawa kabar baik bagi yang menderita. “Kita bergerak ke luar, menjamah orang-orang yang menderita, tertindas dan tersisihkan. Hal itu tidak berarti bahwa kita boleh mengabaikan kehidupan rohani”, lanjutnya.
            Pater Agus pada akhirnya mengajak semua anggota komunitas untuk menggunakan masa adven ini dengan mengambil bagian dalam opsi utama Allah untuk mendekati orang-orang yang menderita. Hanya dengan demikian maka hidup rohani akan menjadi lebih kaya dan bermakna.
Pater Maternus Kehi, SVD dalam ibadat pemberkatan karangan adven menyatakan bahwa pemberkatan karangan adven merupakan tanda bahwa Gereja memasuki tahun liturgi baru. Momen penantian tahun ini ditandai dengan kelabunya dunia ini dengan aneka penderitaan. “Ada dua simbol penting yang terdapat dalam karangan adven ini. Pertama, lingkaran adalah lambang hidup manusia yang saling berhubungan dan persaudaraan umat manusia yang saling membutuhkan. Kedua, lilin adalah lambang Kristus sendiri Sang Cahaya yang membawa terang bagi umat manusia”, demikian kata imam baru ini.
            Pada bagian akhir renungan singkatnya, Pater Mater mengajak semua anggota komunitas untuk menjadi lilin yang memberi terang bagi sesama yang masih hidup dalam kegelapan. “Masa adven akan menjadi lebih berarti jika kita menggunakannya dengan menjadi terang bagi sesama”, katanya. (Fr Vilan Nasrudin, SVD)

Wednesday, November 15, 2017

Ledalero Vs Ritapiret



Seminariledalro.org – Duel bertajuk big match tersaji di lapangan sepak bola Wairpelit pada Rabu (8/11) antara kesebelasan tingkat I Ledalero melawan kesebelasan Tingkat I Ritapiret. Ini merupakan laga persahabatan pertama yang mempertemukan kedua konvik di tahun ajaran yang baru. Pertandingan dimulai tepat pukul 15.30 dengan wasit utama Frt. Muche, SVD dibantu dua wasit garis, Frt. Erwin, SVD dan Frt. Remon, SVD.  Berstatus sebagai tuan rumah, kesebelasan tingkat I Ledalero tampil dengan kekuatan penuh, yang merupakan  kombinasi dua unit, Gabriel dan Mikhael. Di bawah komando sang kapten, Will Oki, Skuad Ledalero berambisi mempertahankan tren positif kala bersua sang musuh bebuyutan. Sementara itu, skuad Ritapiret yang turun dengan kostum biru langit punya misi untuk mempermalukan Ledalero di kandangnya sendiri. 

Sejak peluit kick-off babak pertama dibunyikan, kedua tim gencar melakukan tekanan ke daerah pertahanan lawan. Kedua tim saling berjual-beli serangan, mencoba mencari celah mencetak gol. Barisan penyerang tim Ledalero yang dipimpin oleh Iso Olong dan Randy Max beberapa kali menciptakan  peluang  di mulut gawang tim Ledalero. Peluang emas diciptakan Iso ketika tendangan kerasnya membentur mistar gawang Ritapiret yang dikawal oleh Fredy Judin.
Foto bersama sebelum pertandingan
Hal ini sontak membuat kubu suporter ritapiret terdiam sejenak. Suplai bola dari lini tengah masih menjadi kekuatan tim Ledalero. Bogdan, Riko dan Erik  yang menjadi jenderal lapangan tengah bahu
-membahu membagun serangan dari kaki ke kaki. Gol baru tercipta di menit ke 25. Randy Max sukses menjalankan tugas sebagai eksekutor tendangan pinalti menyusul pelanggaran keras yang dilakukan pemain belakang Ritapiret. Namun, keunggulan ini tidak bertahan lama. Blunder yang dilakukan oleh Thias Banusu berakibat fatal. Kesebelasan Ritapiret berhasil menyamakan kedudukan lewat kaki Vorsal. Babak pertama berakhir dengan skor 1-1.

Pada babak kedua, tensi permainan semakin tinggi. Kedua kesebelasan berusaha membangun serangan yang lebih intensif demi mencetak lebih banyak gol. Kubu Ritapiret sempat terhenyak ketika Iso berhasil menggandakan skor menjadi 2-1 lewat tandukkannya setelah menerima umpan cantik dari Bogdan. Tersentak dengan gol ini, kubu Ritapiret tidak patah arang. mereka tidak mengendurkan serangan dan bermain tanpa beban. Hasilnya, pada menit ke-70 mereka kembali berhasil menyamakan kedudukan lewat tandukan Filmon Rotok. Dalam posisi imbang, pertandingan menjadi semakin panas dan penuh ketegangan. Sisa pertandingan diwarnai dengan beberapa insiden perseteruan bahkan percekcokan. Skor 2-2 bertahan hingga akhir laga. Kedua kubu harus puas dengan hasil imbang ini.

Ketegangan yang dirasakan antara kedua kubu selama pertandingan berangsur pudar lewat jamuan makan kolak yang diadakan di kamar makan Unit Gabriel. Ini menjadi penutup rangkaian pertandingan persahabatan. “Menang kalah itu biasa, persaudaraan itu yang luar biasa”, ungkap Iso di akhir acara. (Gusty Siga/Tingkat I Unit Gabriel)

Unit Rafael Gelar Seminar Tentang Teror Atas Nama Agama



Seminariledalro.org – Seksi Akademi unit Rafael menggelar Seminar tentang teror atas nama agama bertempat di Kamar Makan unit Rafael, Selasa (14/11/2017). Seminar ini dibawakan oleh Frater Leo Sivester, SVD dan dimoderasi oleh Frater Ferdi Jehalut, SVD. Judul  yang diangkat oleh pemateri dalam seminar kali ini ialah  “Teror atas nama Agama dalam Perspektif Banalitas Kejahatan Hannah Arendt”. Pelaksanaan kegiatan ini menjadi suatu bentuk latihan pertanggungjawaban Skripsi sebagai tugas akhir di STFK Ledalero.
           
 Pembicara Frater Leo Silvester, SVD
Kegiatan dimulai tepat pada pukul 20.30 dan berakhir pada pukul 22.00 Wita. Turut hadir dalam kegiatan ini, Prefek unit Rafael, Pater Yosep Keladu Koten, SVD dan anggota unit Rafael yang berjumlah 40 orang. Disaksikan Seminarledalero.org, para peserta begitu antusias mengikuti seluruh rangkain seminari sejak awal hingga selesai.
Pada bagian awal pemaparan materinya, Fr. Leo Silvester mengutip pendapat C.P. Snow yang menegaskan bahwa akar kejahatan umat manusia banyak dilakukan atas kepatuhan dari pada pemberontakan. “Jika kita memandang sejarah panjang dan kelam dari umat manusia, orang akan menemukan bahwa lebih banyak kejahatan yang menjijikan dilakukan atas nama kepatuhan dari pada atas nama pemberontakan.”
Lebih lanjut pemateri menegaskan, kepatuhan bukanlah suatu kehormatan tetapi kepatuhan negatif yang menyulut para pelaku kejahatan untuk mengumbar kejahatan di ruang publik. Penyebab utamanya adalah kekosongan yang diakibatkan oleh indoktrinasi paham kekerasan.
Salah satu contoh korban indoktrinasi adalah Eichmann yang memainkan peran penting di balik peristiwa pendeportasian banyak orang Yahudi ke Kamp konsentrasi dan melakukan pembunuhan massal terhadap jutaan orang Yahudi atas nama ketaatan buta terhadap perintah Hitler dan ideologi Nazi.
            Korban indoktrinasi atau dikenal dengan istilah pencucian otak ini ditafsir oleh pemateri dalam terang pimikiran Hannah Arendt tentang banalitas kejahatan. Menurut pemateri, Hannah Arendt melihat banalitas kejahatan dalam diri Eichmann. Pemahaman banalitas menurut Arendt mengarah  pada kekosongan yang membuat korban, dalam hal ini Eichmann, menafikan peran nalar untuk berpikir kritis. Akar utamanya ialah ketiadaan daya pikir dari korban.
            Dalam pertanggungjawabannya di hadapan pengadilan di Yerusalem, demikian Frater Leo, mengutip Hannah Arendt, Eichmann merasa tidak bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya. Bahkan ia sendiri merasa tidak bersalah ketika ditanyai oleh hakim, karena ia hanya menjalankan perintah atasannya. Atas dasar itu, Arendt berargumen bahwa kejahatan yang dilakukan  oleh Eichmann adalah kejahatan yang banal karena ketidakmampuan berpikirnya ketika dihadapkan dengan kondisi-kondisi totalitarisme yang menggiringnya ke dalam tindakan kriminal melawan orang Yahudi.
            Kemudian Frater Leo menegaskan bahwa, apa yang dialami oleh Eichmann tidak jauh berbeda dengan yang dialami oleh para teroris yang bergabung dengan kelompok-kelompok radikal keagamaan. Mereka adalah orang-orang yang terasing dan teralienasi akibat perkembangan modernisme. Mereka kemudian berlindung di balik kelompok-kelompok radikal yang memberikan mereka identitas yang pasti, serta jaminan hidup bahkan jaminan hidup di akhirat walau harus merendahkan diri atau taat secara buta terhadap pimpinan mereka.
            Menurut Frater Leo, persoalan terorisme juga dikaitkan dengan radikalisme atas nama agama dan indoktrinasi otak yang menampilkan kedangkalan berpikir manusia. Para teroris tidak lain adalah korban indoktrinasi paham-paham keagamaan yang radikal. Namun lebih dari itu, teror atas nama agama juga berkaitan dengan proses kedangkalan berpikir atau ketidakmampuan berpikir manusia. Mereka juga adalah orang-orang yang tidak mampu berimaginasi, membayangkan posisi orang lain terutama orang-orang yang inosen yang kehilangan nyawanya hanya karena ketaatan buta terhadap perintah “agama”.
            Tesis yang diangkat oleh pemateri dalam Seminar ini memantik rasa ingin tahu dan partispasi dari segenap peserta. Ada banyak pertanyaan dari forum. Salah satu pertanyaan yang memantik partisipasi semua perserta seminar ialah pertanyaan dari Fr. Edo Putra, SVD, yang mempertanyakan penyebab indoktrinasi yang disebabkan oleh ketiadaan berpikir. Menurutnya, penyebab ini kurang masuk akal. Eichmann sendiri adalah seorang intelektual. Kekayaan intelektual ini membuat dia mampu berpikir. Adalah tidak masuk akal, jika Echmann dalam tindakannya itu tidak sedang berpikir.
Menjawabi pertanyaan itu, Frater Peter Tan, Mahasiswa Pascasarjana di STFK Ledalero, membedah substansi pemikiran Arendt. Ketiadaan berpikir dalam terang pemikiran Arendt bukan karena tidak berpengetahuan tetapi kekosongan yang membuat orang tidak mampu berpikir kritis. Selain Frater Peter, Frater Faris, Mahasiswa tingkat IV yang juga menulis skripsi tentang Hannah Arendt, menegaskan bahwa berpikir menurut Arendt dibedakan dengan rasionalisasi. Berpikir menurut Arendt selalu dikaitkan dengan kenyataan bagaimana si subjek yang bepikir berimaginasi tentang akibat apa yang ditimbulkan terhadap orang lain bila ia mengaktualisasikan suatu keputusan dalam tindakannya. Sedangkan rasionalisasi tanpa pertimbangan semacam itu.
            Hal yang sama juga ditegaskan oleh pemateri, Frater Leo Silvester. Ia menjelaskan secara rinci pembedaan “berpikir” dan “rasionalisasi” menurut Hannah Arendt. Dalam hal ini, ia sebenarnya mau menegaskan kembali apa yang dijelaskan oleh forum sebelumnya.
            Sebelum diskusi berakhir, moderator, Frater Ferdi Jehalut, memberikan kesempatan kepada Pater Yosef Keladu Koten yang juga sebagai pembimbing skripsi dari pamateri, untuk berbicara. Sebagai orang yang ekspert dalam bidangnya, Pater Yosef, dosen Filsafat di Ledalero itu memberikan beberapa buah penjelasan yang membuat para peserta seminar merasa puas. Setelah pater memberikan satu dua penegasan, moderator lansung menutup kegiatan seminari secara resmi. 
(Frater Ferdi Jehalut, SVD dan Frater Rio Nanto, SVD)