Friday, March 31, 2017

Seksi Konsumsi Gelar Lomba Masak Antarunit

 seminariledalero.org - Seksi Konsumsi Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero menggelar lomba masak yang diikuti para frater dari enam (6) unit di Ledalero. Lomba yang bertujuan meningkatkan kreativitas memasak para calon misionaris SVD ini berlangsung sore hari di dapur unit masing-masing, terhitung selama enam hari sepanjang Maret 2017.
Ketua Seksi Konsumsi Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero Frater Bona Laba SVD kepada Seminariledalero.org di dapur Unit St. Agustinus, Kamis (30/3/2017), mengatakan lomba ini menjadi program unggulan selama masa kepengurusannya. Pada kesempatan tersebut, Frater Bona mendampingi dewan juri memberi penilaian pada hasil masakan para frater Unit St. Agustinus sebagai peserta terakhir lomba.     
 “Frater masuk dapur dan memasak sendiri itu bukan hal baru di Ledalero. Namun, kadang ada keluhan bahwa hasil olahan para frater kurang nikmat, menunya minimalis. Nah, lomba ini bertujuan melihat bagaimana cara frater memasak dan sejauh mana kemampuan mereka dalam memasak,” kata Frater Bona.
Kriteria perlombaan, kata Frater Bona, meliputi keanekaragaman jenis makanan, pemanfaatan bahan lokal, cara penyajian makanan dan rasa makanan. Selain itu, penilaian juga diberikan pada aspek kebersihan dapur, kerapian pemasak dan ketepatan waktu.
“Saya berharap lomba ini bisa mendorong para frater untuk mempersiapkan menu makan mereka dengan baik. Jika makanan dipersiapkan secara baik, dalam arti sederhana tetapi enak dan sehat, kamar makan akan menjadi tempat yang indah untuk dikunjungi,” kata Frater Bona.
Menurut Frater Bona, setiap unit berhak mengutus lima frater sebagai peserta lomba. Proses kerja dan hasil olahan mereka akan dinilai ketiga juri yakni Suster Maria Clara SSpS, Ketua Karyawati Ledalero Kristin Woi dan Pater Hubert Tenga SVD.
Seru
 Pelaksanaan lomba masak di Unit St. Agustinus, Kamis (30/3/2017) sore berlangsung seru. Frater Budi, Frater Vilan, Frater Aris, Frater Mando dan Frater Ipi dipercayakan sebagai peserta lomba. Perpaduan busana antara sepatu kets, celana jeans, kaos oblong putih dan celemek merah tua menjadikan penampilan para pemasak tampak elegan.
Di bawah tema “Berkreasi Bersama Kelapa”, kelima frater ini berhasil menyelesaikan 10 jenis menu dalam waktu 1,5 jam. Menu olahan tersebut selanjutnya disajikan di kamar makan unit yang juga telah didekorasi menjadi layaknya sebuah tempat pesta.
“Proficiat, saya bangga atas kreativitas para peserta lomba dari Unit St. Agustinus. Kalian unggul dalam menciptakan keragaman menu dan juga dekorasi kamar makan,” kata Suster Maria Clara SSpS.
  Penilaian yang sama juga disampaikan Kristin Woi. Menurut dia, pemasak sekelas karyawati pun mungkin tidak sanggup menciptakan menu senikmat dan semenarik yang dihasilkan para frater. Menurut Kristin, “kreativitas para frater sungguh luar biasa”.
Sementara itu, Pater Hubert Tenga dalam penilaiannya pertama-tama mengaitkan kreativitas memasak dengan ilmu filsafat. Menurut dia, kreativitas memasak lahir dari luasnya cakrawala berpikir yang menjadi ciri khas filsafat.
“Yakinkan semua orang bahwa keterampilan memasak itu penting. Memasak merupakan ritus spiritual yang dengannya kita memuliakan Allah, menghargai ciptaan dan mengenang nenek moyang,” katanya.

Berdasarkan informasi yang diperoleh Seminariledalero.org, pengumuman juara perlombaan masak ini akan dilangsungkan dalam waktu mendekat. Para juri terlebih dahulu mengadakan pertemuan internal demi memutuskan unit mana yang berhak menjadi juara.
Penulis: Frater Yovan Rante, SVD




Tuesday, March 28, 2017

Frater Unit St. Arnoldus Janssen Ikuti Sosialisasi HIV/AIDS

Seminariledalero.org - Para frater Unit St. Arnoldus Janssen-Nitapleat mengikuti sosialisasi HIV/AIDS di ruang makan unit, Kamis (23/3/2017). Sosialisasi yang dimoderasi Koordinator JPIC Provinsi SVD Ende Pater Eman Embu SVD ini dibawakan Sekretaris KPA Kabupaten Sikka Yohanes Siga dan salah seorang penyintas HIV/AIDS di Kota Maumere.
Kegiatan ini merupakan salah satu bentuk respons para frater SVD terhadap Rencana Strategis (Restra) Provinsi SVD Ende dalam menanggapi persoalan HIV/AIDS.
Prefek Unit St. Arnoldus Janssen Pater Hans Lina SVD dalam kata sambutanya mengatakan kegiatan ini merupakan tanggapan terhadap Restra Provinsi SVD Ende dalam mengatasi persoalan HIV/AIDS. Karena itu menurut beliau, kegiatan ini sangat berguna dan penting, karena dapat membekali para agen pastoral dalam melayani umat.
Salah satu persoalan umum yang harus menjadi perhatian khusus para agen pastoral, sebagaimana ditekankan oleh pembicara dalam sosialisasi ini adalah stigma negatif terhadap penderita HIV/AIDS. Bahwa, para penderita HIV/AIDS disingkirkan dalam kehidupan sosial masyarakat. Ini dikarenakan oleh kemiskinan informasi dan pengetahuan tentang HIV/AIDS.
Karena itu, kedua pembicara mengharapkan agar para agen pastoral dapat mensosialisasikan dan memperkenalkan persoalan HIV/AIDS kepada umat. Ini berguna supaya umat mempunyai pengetahuan yang baik tentang HIV/AIDS dan serentak dapat mengubah persepsi mereka terhadap penderita HIV/AIDS.
Kegiatan sosialisasi ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan para agen pastoral perihal HIV/AIDS, dan kemudian dapat menjadi bekal dalam melayani umat. Karena persoalan ini ada di tengah kehidupan umat, maka pengetahuan tentang HIV/AIDS sangat penting bagi para agen pastoral dalam melayani umat.
Pater Eman Embu SVD dalam komentar penutupnya menegaskan bahwa “problem ini tidak jauh dari kita. Persoalan ini berada di dalam masyarakat yang (akan) kita layani. Karena itu penting bagi agen pastoral untuk memiliki pengetahuan yang memadai tentang HIV/AIDS, persoalan yang dialami umat”.


Penulis: Frater Rudi Haryatno, SVD

Tuesday, March 21, 2017

PROBANIS LEDALERO ANGKATAN KE-74 KUNJUNGI SOS


Rekoleksi Bersama Para Pendamping dan Pembina Anak-Anak SOS 
(Photography by Hendra Ragha) 










                  Pendampingan Rohani bagi Anak-Anak SD (Photography by Hendra Ragha)
Seminariledalero.org - Para frater probanis Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero yang sedang mempersiapkan diri untuk mengikrarkan Kaul Kekal dalam Serikat Sabda Allah pada 15 Agustus 2017 mengunjungi SOS Children’s Villages of Flores di Desa Kolisia, Kecamatan Magepanda, Kabupaten Sikka. Kunjungan bertajuk “Group Dynamic, Team Building, and Conflict Management” sebagai salah satu bagian dari pembinaan bagi para probanis ini mencakup beberapa kegiatan, di antaranya penjelasan tentang Team Work and Team Building oleh P. Maximus Manu, SVD, rekoleksi Prapaskah bersama para pembina dan pendamping anak-anak SOS, kunjungan ke masing-masing rumah pembinaan bagi anak-anak SOS, tatap muka antara para probanis dengan kelompok anak SD, SMP, dan SMA, perayaan Ekaristi bersama keluarga besar SOS, dan evaluasi dan rekreasi bersama di pantai wisata Mangroeve, Magepanda.

Pendamping dan pembina para frater probanis, P. Maxi Manu, SVD, dalam arahan singkatnya, mengungkapkan bahwa kunjungan ini selain sebagai salah satu bagian dari proses pendampingan bagi para frater yang akan berkaul kekal dalam kaitannya dengan Team Work and Team Building, juga merupakan kesempatan di mana para frater dapat belajar untuk merasakan kehidupan ‘orang-orang pinggiran’ sebagai bagian dari medan misi atau lokus karya pastoral yang harus diberikan perhatian secara rohani.

Selain itu, kunjungan ini juga bertujuan untuk menghibur dan menambah rasa percaya diri anak-anak SOS yang secara umum berasal dari latar belakang keluarga broken home, sebagaimana diungkapkan oleh Fr. Yano Veto, SVD. “Saya merasa sangat bersyukur dan bergembira bisa berada bersama anak-anak di tempat ini. Di satu sisi, secara pribadi wawasan saya tentang medan misi dan karya pastoral di kemudian hari diperkaya, tetapi lebih dari itu setidaknya kehadiran kita sekalian di tempat ini bisa membuat anak-anak yang ‘terlantar’ ini merasa gembira, dan dengan itu mereka memahami bahwa mereka tidak pernah sendirian,” kata Ketua Probanis Angkatan ke-74 itu dalam suatu sesi wawancara singkat.

Perayaan Ekaristi Bersama, Evaluasi dan Rekreasi Bersama di
Pantai Wisata Mangroeve, Magepanda
(Photography by Hendra Ragha)

Hal yang hampir senada juga ditegaskan secara tersirat oleh Fr. Assys Moron, SVD dalam kesempatan rekoleksi Prapaskah bersama para pembina dan pendamping anak-anak SOS. “Hidup bersama akan menjadi lebih hidup jika dilandasi oleh kasih yang berakar di dalam kasih Allah. Agar kasih itu tetap hidup, pertama-tama kita harus mengenal dan memahami orang lain sebagai karunia, entah orang lain itu adalah sesama yang ada di dalam komunitas kita atau orang-orang di luar komunitas, terutama mereka yang miskin dan tidak berdaya. Sebab, masing-masing kehidupan yang kita jumpai adalah karunia Allah yang layak mendapatkan penerimaan, hormat, dan cinta,” kata Fr. Assys.
Selanjutnya, para frater pun berkesempatan mengunjungi masing-masing rumah pembinaan bagi anak-anak SOS, di mana para frater dibagi ke dalam kelompok-kelompok dengan jumlah anggota 1-2 orang. Dalam kegiatan ini, para frater menyempatkan diri untuk berbincang-bincang dan membagi-bagikan pengalaman hidup dengan para penghuni rumah di sela-sela acara jamuan makan malam bersama.

(
Photography by Hendra Ragha)









Lebih jauh, para frater juga memanfaatkan kunjungan ini dengan memberikan pembinaan rohani bagi anak-anak SOS, yang dikategorikan berdasarkan tingkatan pendidikan, yakni kelompok SD, SMP, dan SMA.Rangkaian kegiatan ini kemudian dipersembahkan dalam perayaan Ekaristi bersama segenap anggota komunitas SOS Children’s Village of Flores yang dipimpin oleh P. Maximus Manu, SVD, pada Minggu, 19 Maret 2017. Dalam kotbahnya, Fr. Muche Bakang, SVD kembali menegaskan pentingnya hidup bersama. “Ada bersama, mengalami secara bersama-sama suka dan duka hidup adalah cara kita mengambil bagian di dalam rahmat keselamatan Allah. Untuk mewujudkan hal itu, kita mesti sadar diri, sadar konteks, dan sadar akan sesama yang lain,” kata Fr. Muche.

Kunjungan yang berlangsung selama dua hari ini, Sabtu (18/03/2017) dan Minggu (19/03/2017) berjalan dengan lancar. Usai kegiatan, para probanis mengadakan evaluasi dan rekreasi bersama di pantai wisata Mangroeve, Magepanda, pada Minggu, 19 Maret 2017.* (Ade Riberu)

Sunday, March 19, 2017

Kor Karyawan dan Karyawati Meriahkan Pesta St. Yosef

Seminariledalero.org - Segenap karyawan-karyawati Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero bersama para Frater Unit St. Mikhael memeriahkan Perayaan Ekaristi Minggu Prapaskah III yang dipadukan dengan Pesta St. Yosef suami Maria di Kapel Agung Ledalero, Minggu (19/3/2017). Perayaan Ekaristi ini dipimpin oleh Prefek Koordinator Pater Petrus Cristologus Dhogo, SVD.
          Hadir dalam perayaan ekaristi ini Rektor Seminari Tinggi Ledalero, Pater Kletus Hekong SVD, para Pastor, Bruder, Frater, Suster dan segenap karyawan-karyawati. Selain itu hadir juga beberapa umat awam dari luar komunitas Seminari Ledalero. Pater Ito dalam kata pengantarnya mengajak segenap umat yang hadir untuk berusaha menjadi Yusuf-Yusuf baru pada zaman ini.
“Bacaan-bacaan pada hari ini tentu tidak ada satu pun yang berkisah tentang St. Yusuf. Akan tetapi, kita semua sudah tahu tentang St. Yusuf  yang telah dikisahkan pada injil sinoptik lainnya. Karena itu, marilah kita belajar menjadi Yusuf-Yusuf baru pada zaman sekarang ini,” katanya.

Dalam homilinya, Pater Ito Dhogo SVD mengantar segenap umat yang hadir untuk bermenung tentang perempuan Samaria dengan merujuk pada perikop Injil Yohanes, 4:5-42. Dari tema yang diangkat, Pater Ito Dhogo membeberkan tiga poin penting sebagai bekal dalam ziarah hidup di masa prapaskah ini.
Yesus senantiasa datang dan duduk di pinggir sumur hati kita. Yesus senantiasa datang untuk membuka hati kita dari dosa. Dia datang pada saat yang tepat. Bagi Tuhan tidak ada yang tidak kelihatan dan tersembunyi. Bahkan bagi Tuhan ketika tidak ada doa dan percakapan dengan Dia lagi, Tuhan sendiri akan meminta bercakap dengan kita. Jika orang mulai mementingkan dirinya sendiri, dan tidak mau bercakap dengan Tuhan, disitu dia mulai kehilangan harapan hidupnya” kata Pater Ito.
Hal kedua yang ditekankan Pater Ito adalah soal keterbukaan hati perempuan itu. “Dulu dia yang tertutup, takut dan malu membuka hatinya, kini menjadi utusan Tuhan. Bagi orang yang jernih hatinya akan menunjukkan kegembiraan dalam hidupnya. Akan tetapi, bagi orang yang berdosa dan tertekan, ia akan mengeluh sepanjang hidupnya, dia akan mudah tersinggung dengan hal-hal yang dibicarakan oleh orang lain dan dia tidak tahu berterimakasih.”
Selanjutnya, hal ketiga yang ditekankan Pater Ito adalah melalui perempuan yang berdosa itu, orang-orang Samaria sampai kepada Yesus. Mereka bukan percaya kepada kata-kata perempuan itu, melainkan mereka yakin bahwa mereka mendengarkan langsung dari Yesus.
Pater Ito mengakhiri homilinya dengan sekali lagi mengajak umat untuk mengaplikasikan poin-poin yang telah ia tekankan. “Marilah kita menyadari diri bahwa Yesus senantiasa datang dan duduk di pinggir sumur hati kita. Ia mau bercakap-cakap dengan kita. Karena itu, kita harus membuka diri di hadapan-Nya dan bercakap-cakap dengan-Nya. mengungkapkan segala isi hati kita. Dan kita yakin bahwa Ia akan membebaskan kita dari segala dosa dan hati kita akan dijernihkan,”katanya.
Sementara Rektor Seminari Ledalero Pater Kletus Hekong SVD, dalam sambutannya mewakili segenap Komunitas Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero mengucapkan limpah terima kasih untuk pelayanan para karyawan-karyawati untuk Seminari dan ucapan selamat merayakan pesta St. Yosef. ““Saya mengucapkan terimakasih kepada karyawan-karyawati yang telah mengabdikan hidupnya bagi komunitas ini,” ungkapnya.
Sementara ketua asrama karyawati Filomena Ojom yang ditemui usai perayaan ekaristi mengungkapkan perayaan pesta Santo Yosef merupakan ajakan bagi mereka untuk senantiasa setia melayani. “Kami bersyukur dan berterima kasih karena diberi kesempatan untuk melayani anggota komunitas ini. Seperti Santo Yosef, kami diajak untuk senantiasa melayani dengan baik,” katanya.

Frater Roland Nampu, SVD

Thursday, March 16, 2017

Jalan Salib Bersama Veronika

Cinta hanya sebuah kata, sampai kita biarkan cinta itu menguasai kita dengan segenap dayanya.
Cinta hanyalah sepatah kata, sampai seseorang datang dan memberinya makna.
(Paulo Coelho, Manuscript Found in Accra)

Saya selalu membayangkan bahwa lakon itu akan tersaji seperti ini: Di bawah terik mentari yang menyengat, Tuhan Yesus memikul salib-Nya dengan langkah gontai. Jalanan menanjak. Tiris-tiris darah bak seduh mata air yang mengalir dari kedalaman hatiNya yang sunyi nan suci, tercecer pada kerikil-kerikil tajam di sepanjang jalan itu. Suara cemooh dan caci maki yang tak kunjung padam seperti dentum paduan suara yang mengiris pedih terus mengalun. Gairah membunuh barangkali lahir dari hasrat yang keliru, tumbuh dari rasa dahaga akan darah, dan keinginan untuk memuaskan kerinduan mata untuk menyaksikan tontotan gratis yang keji dan sadis. Mencekam. Nafsu memang selalu lebih mudah menjalar dari pada rasa cinta; dendam selalu lebih enak membuai, membangkitkan libido keji yang selalu menuntut tumbal.
Di tengah kawanan massa yang mengamuk lantaran terbakar amarah itu, seorang perempuan muda bernama Veronika, tiba-tiba datang mendekati Yesus. Berlutut di depan Tuhan dalam cinta yang dibasuh air mata. Ia berpakaian serba hitam tanda duka. Air mata merembes dari kelopak matanya, bukan terutama lantaran iba, melainkan air mata yang menjelma serupa doa solidaritas, isyarat bela rasa yang tak terbendung. Cinta yang dibasuh air mata akan selalu tampak lebih berkilau.
Barangkali memang harus selalu seperti itu; di hadapan orang-orang yang berduka lantaran kehilangan sanak saudara atau tragedi getir yang mendera, bukan terutama konsep tentang Tuhan penuh kasih yang kita tawarkan atau basa-basi kata-kata penghiburan semu. Yang perlu kita tunjukkan adalah bela rasa, solidaritas dan tanggung jawab kemanusiaan untuk mengambil bagian dalam kedukaan itu. Karena mereka yang berduka lantaran kematian, misalnya, bukan terutama karena mereka tidak percaya akan kasih Tuhan yang besar itu, melainkan karena mereka menyadari bahwa setelah itu, mereka akan menjalani hidup tanpa dia yang telah meninggal itu.
Adegan itu berlangsung tanpa kata. Hanya ada tatapan penuh kasih yang saling beradu dan debur cinta yang menggelora. Bila cintamu melimpah, tiada lagi kata-kata. Berbekalkan sepotong handuk putihnya, Veronika mengusap dan membersihkan wajah Tuhan.  Perlahan. Tanpa ragu, apalagi malu. Ia melakukannya dengan penuh cinta. Sebagai imbalannya, ia mendapat guratan abadi wajah Tuhan yang memancarkan cinta. Sepotong wajah, yang menandakan kemiskinan yang hakiki, namun serentak berkemilau cinta seribu pelangi. Bagi Veronika, bila menyitir Paulo Coelho, cinta hanyalah sepatah kata, sampai seseorang datang dan memberinya makna. Handuk itu, juga hanyalah sepotong benda, sampai seseorang datang dan menjadikannya berarti. Pada wajah dalam sepotong handuk itu, tulisan ini akan berpijak.
Wajah pada Handuk Veronika
Wajah selalu berbicara melalui kehadiran. Kehadiran wajah, menurut filsuf Emmanuel Levinas, selalu merupakan signifikansi tanpa konteks. Wajah manusia tidak pernah berada dalam konteks partikular atau bersifat relatif, ia bermakna dalam dan pada dirinya sendiri. Dalam lakon Veronika, wajah Tuhan yang hadir di depan Veronika dan kerumunan massa yang terbakar amarah itu, juga merelakan dirinya hadir dan mengabadi dalam handuk Veronika. Di mata Tuhan, tak ada sesuatu yang tak berarti di dunia ini, termasuk sepotong handuk. Veronika memanen kembali butir-butir cintanya yang ia bagikan kepada Tuhan dalam rupa wajah Tuhan sendiri. Saya mencoba membaca kehadiran wajah Tuhan dalam handuk Veronika ini dalam dua perspektif berbeda yakni epifani wajah Levinas dan kisah Pengadilan Terakhir seperti yang termuat dalam Matius 25:31-46.
Pertama, epifani wajah. Wajah yang lain di hadapan saya, tidak pernah berdiam diri. Ia berbicara dan ketika ia berbicara, keadaan saya diinterupsi olehnya. Levinas menulis “Wajah menatap saya dan memanggil saya. Ia menuntut saya. Apa yang ia minta? Jangan tinggalkan ia sendirian!”. Epifani wajah Levinas terpersonifikasi sebagai yang miskin, janda, yatim piatu, orang asing dan telanjang. Karena itu, seruan jangan tinggalkan ia sendirian menjadi seruan dari kaum miskin, janda, yatim piatu, orang asing dan telanjang.
Dalam perspektif epifani wajah ini, wajah Tuhan yang tergambar dalam handuk Veronika menjadi cerminan dari wajah kaum miskin, orang asing, yatim piatu dan telanjang yang butuh untuk dibasuh dengan penuh cinta. Pembasuhan ini, pertama-tama tidak dilakukan melalui kata penghiburan semu dan nasihat-nasihat saleh nan suci (kita ingat Tuhan Yesus yang menasihati wanita-wanita Yerusalem yang menangisinya), melainkan terutama lewat tindakan (bandingkan tindakan Simon dari Kirena yang ikut memikul salib Tuhan). Selalu ada jarak antara kata dan tindakan.
Tuhan yang miskin, yang tergambar dalam handuk Veronika hendak menyatukan dirinya dengan jeritan umat yang melalui hari hidupnya dalam lembah kemiskinan, berbela rasa dengan gelisah umat yang ketiadaan makanan dan solider dengan ratap tangis anak-anak cacat di tengah absennya cinta kasih. Tuhan yang tampak sebagai orang asing di tengah kerumunan massa yang terbakar amarah di jalan menuju Golgota itu hendak menyatukan dirinya dengan orang-orang yang disingkirkan dan ditolak oleh sesamanya, menyatu dengan para pengungsi yang harus meninggalkan tanah airnya. Tanah air, bagi orang usiran, adalah kenangan dan masa lalu yang tak gampang dilupakan. Tuhan yang hanya ditemani Bundanya dalam perjalanan yang memedihkan itu, hendak menyatukan dirinya dengan orang-orang yang kehilangan sanak saudara, ayah, ibu dan mendapati dirinya sebatang kara. Wajah Tuhan yang telanjang, hendak bersolider dengan orang-orang yang hak hidupnya diinjak, dicaci maki dan dijadikan mesin. Tuhan juga hendak menggugat mereka yang tak lagi punya rasa malu, tak menghargai kemurnian tubuhnya sendiri, dan lebih senang menjadikan tubuhnya sebagai komoditas perdagangan. Di tengah mengglobalnya industri afeksi, sensualitas tubuh menjadi komoditas yang selalu enak dan laku dijual.
Kedua, pengadilan terakhir. Wajah Tuhan yang tergambar jelas dalam handuk Veronika serentak menghubungkan kita dengan kisah Pengadilan Terakhir seperti tertuang dalam Matius 25:31-46. Dalam kisah itu, Tuhan secara tegas menyatukan dirinya dengan orang yang lapar, haus, orang asing, telanjang, sakit dan orang dalam penjara. “Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku” (ay.35-36). Sekali lagi, Tuhan menunjukkan solidaritas, bela rasa dan cinta tak terbatasNya dengan orang-orang yang menderita. Dulu, Veronika telah menunjukkan cintanya dengan mengusap penuh kasih wajah duka Tuhan dengan handuknya. Dan kini, usapan yang sama, Tuhan inginkan, agar kita arahkan kepada orang yang lapar, haus, orang asing, sakit, telanjang dan berada dalam penjara.
Wajah: “Locus Theologicus”
          Veronika mengusap wajah Tuhan dan sebagai imbalannya, ia mendapat guratan wajah Tuhan dalam handuknya. Wajah Tuhan yang tergambar dalam handuk Veronika adalah sebuah ingatan sekaligus ajakan bagi semua anggota Gereja untuk menjadikan orang miskin, janda, yatim piatu, orang asing dan telanjang sebagai locus theologicus. Seperti halnya, tindakan kasih Veronika, Gereja mesti mampu mengarahkan keterlibatan konsep dan praksis teologisnya dengan menjadikan pemerdekaan ‘yang lain’ sebagai tujuan. Gereja mesti terlibat sebagai perwujudan dari teologi terlibat. Tesis kunci teologi terlibat, sebagaimana dikatakan Paul Budi Kleden adalah Allah yang diimani dan hendak dipertanggungjawabkan di dalam teologi merupakan Allah yang terlibat, Allah yang kekudusanNya tidak didefinisikan berdasarkan keterpisahanNya yang statis dari dunia yang profan; tetapi Allah yang masuk ke dalam dunia dan sejarah sebagai sumber inspirasi dan daya ubah bagi dunia. Allah yang menawarkan diri demi keselamatan manusia, kata Budi Kleden, adalah Allah yang melibatkan diri dalam nasib dan sejarah manusia, Allah yang peduli akan manusia dan kehidupannya.

          Tesis kunci ini hendaknya mengarahkan perhatian semua anggota Gereja kepada kaum miskin, janda, yatim piatu, orang asing dan telanjang. Keselamatan Allah yang diwartakan dalam teologi mesti mampu ditunjukkan dalam upaya pemerdekaan dan pembebasan ‘yang lain’ dari berbagai penderitaan dan persoalan yang mendera. Gereja dan konsep teologisnya, mesti sekali lagi, menjejakkan dirinya pada persoalan riil umat manusia. Veronika sudah memulai keterlibatan ini lewat tindakan kasihnya mengusap wajah Yesus dengan handuknya. Cinta hanyalah sepatah kata, sampai seseorang datang dan memberinya makna. Handuk hanyalah sepotong benda, sampai seseorang datang menggunakannya dan menjadikannya bermakna.

Penulis : 
Fr. Kristo Suhardi, SVD

Sunday, March 12, 2017

Frater Ledalero bersama Umat Berbagai Agama Adakan Penghijauan

seminariledalero.org - Para Frater dari Seminari Tinggi Ledalero bersama ratusan umat dari berbagai agama mengadakan kegiatan penghijauan di mata air Wairkoja, Kampung Kolibulu, Desa Hoder, Kecamatan Waigete, Jumat (10/3). Kegiatan penghijauan ini berupa penanaman 300 pohon dan pembersihan wilayah mata air. Kegiatan yang bertajuk ‘Aksi Bela Bumi’ ini dikoordinasi oleh Dosen Islamologi pada STFK Ledalero Pater Hendrikus Maku SVD.
Hadir dalam kegiatan ini Provinsial SSpS Flores Bagian Timur Sr. Inosensia SSpS, Pendeta Emiliana Leny dari Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) Jemaat Kristus Jawaban Cabang Geliting, Pendeta Mega Paipialy Manggoa dari Gereja Masehi Injili Timor (GMIT) Efata Geliting, Pastor Kapelan Paroki Watubala Romo Kornelis Dolo Pr, Imam Masjid al-Mujahidin Geliting, dan Imam Masjid al-Razig Geliting.

Selain itu, hadir juga para mahasiswa STFK Ledalero yang mengikuti matakuliah pilihan ‘Perang dan Damai dalam Islam’, utusan mahasiswa Universitas Muhammadiyah Maumere, para Suster SSpS Komunitas Kewapante, tim Teater Garasi Yogyakarta, umat lingkungan Kolibulu Paroki Watubala, Jemaat GMIT Geliting dan ratusan pecinta lingkungan hidup lainnya.
Koordinator aksi penghijauan ini, Pater Hendrikus Maku SVD, mengungkapkan kegiatan ini lahir dari kesadaran bahwa agama-agama hadir sebagai pembawa rahmat dan kesejahteraan bagi seluruh alam semesta. Semua agama, kata Pater Hendrik, mengajarkan nilai yang satu dan sama bahwa tanggung jawab untuk merawat dan menjaga keutuhan alam ciptaan ada di tangan semua orang.
“Terdorong oleh kesadaran ini kami berinisiatif untuk mengadakan aksi penghijauan yang melibatkan umat dari berbagai agama di mata air Wairkoja. Aksi penghijauan lintas agama ini penting, selain untuk memperdalam kesadaran akan tanggung jawab bersama memelihara ibu bumi, juga agar umat beragama sungguh sadar bahwa kita semua terlahir dan hidup di dalam bumi yang sama,” kata Pater Hendrik.
Seperti disaksikan seminariledaero.org, kegiatan penghijauan ini berjalan lancar. Semua peserta saling bekerja sama untuk menanam pohon dan membersihkan lingkungan di sekitar mata air Wairkoja. Usai kegiatan, para peserta penghijauan menikmati makanan dari pangan lokal yang disiapkan oleh umat Lingkungan Kolibulu, Paroki Watubala.

Pertobatan Ekologis
Provinsial SSpS Flores Bagian Timur Sr. Inosensia SSpS yang ditemui seminariledalero.org usai penghijauan mengungkapkan kegiatan ini merupakan wujud pertobatan ekologis dan tanda keberpihakan kepada kehidupan. Karena itu, Sr. Inosensia berharap agar kegiatan ini terus dilanjutkan dan mesti dilihat sebagai komitmen pribadi untuk memelihara alam dan lingkungan hidup.
“Kegiatan ini mengajak kita untuk merenungkan penderitaan bumi yang telah sering kita lukai. Kita mau bertobat dan mengungkapkan pertobatan itu dengan menanam pohon, memelihara lingkungan hidup dan merawat bumi. Setiap orang dipanggil untuk memelihara hidup dengan merawat bumi,” kata Sr. Inosensia.
Sementara Pendeta Mega Paipialy Manggoa dari GMIT Efata Geliting mengungkapkan kegiatan penghijaun yang melibatkan umat dari berbagai agama ini merupakan salah satu cara untuk memperkukuh persaudaraan di antara umat beragama. Setiap umat beragama, kata Pendeta Mega, memiliki tanggung jawab untuk memelihara lingkungan hidup.

Sunday, March 5, 2017

Kekuatan: Kesadaran akan Kerapuhan

§  Pater Agust Alfons Duka, SVD
P. Agust Alfons Duka, SVD
seminariledalero.org - September 2016, segenap anggota komunitas Seminari Tinggi St Paulus Ledalero berbahagia bersama salah satu konfrater yang merayakan perak imamat. Sang jubilaris yang sekarang tinggal di Candraditya-Maumere itu bernama Pater Agust Alfons Duka, SVD. Pria yang pernah bekerja sebagai Anggota Lembaga Sensor Film ini dilahirkan di Alor, 2 Agustus 1964.
Benih panggilan untuk menjadi misionaris bersemi saat berada di Seminari San Dominggo Hokeng (1979-1983). Setelah menyelesaikan pendidikannya di seminari menengah, beliau masuk Novisiat Ledalero (1984-1985). Selanjutnya beliau menyelesaikan studi filsafat pada STFK Ledalero selama empat tahun (1985-1989). Sebelum mengikrarkan kaul kekal pada bulan Agustus 1990, beliau menjalankan Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di Seminari Mataloko.
Sebagai biarawan misionaris, kita tentu tidak hanya berdiam dan bertugas pada satu tempat saja. Biarawan Misonaris sejati itu adalah pribadi yang berani berkarya di beberapa tempat berbeda dengan pluralitas kultural. Pater Agust Duka, SVD segera ditugaskan di Sao Paulo-Brasil setelah ditahbiskan di Nenuk, pada 29 September 1991 (1992-2000). Di Brasil, Pater Agus, sebagaimana disapa, tidak hanya berkarya membangun iman umat, tetapi juga masuk Fakultas di Universidade Metodista de San Bernardo do Campo, Sao Paulo-Brasil dengan mengambil jurusan Komunikasi atas instruksi Provinsial Brasil (1997-2000).
Beberapa tahun setelah menyelesaikan Studi, Pater Agus dipanggil kembali ke Indonesia, ke Provinsi Ende oleh Provinsial Ende. Di Ende, misionaris yang pernah kursus musim dingin Misiologi di Nemi-Roma ini menjadi Pemimpin Redaksi Harian Umum Flores Pos dan Mingguan Dian (2002-2006). Pengabdiannya dalam dunia jurnalistik berjalan selama empat tahun.
Setelah itu, Pater Agus beralih ke medan baru, yakni menjadi Sekretaris Eksekutif Komisi Komunikasi KWI-Jakarta (2007-2014). Di kota metropolitan ini, Pater Agus juga bergulat dengan banyak tugas lain yang dipercayakan kepadanya seperti Dosen Teologi Komunikasi pada sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara-Jakarta, menjadi Anggota Lembaga Sensor Film (LSF) Republik Indonesia, dan Anggota Satuan Tugas Pemberantasan Pornografi dan Pornoaksi Departemen Agama Republik Indonesia.
Sebelum dipanggil kembali ke Provinsi Ende, pada tahun 2015, Pater Agus menjalani kursus Bahasa Korea dan Tahun Sabbatical di Bidang Pastoral Migran dan Itineray People di Seoul-Korea Selatan. Kini, beliau mengabdikan diri dalam Divisi Migran pada Komisi Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan SVD Maumere Flores, sembari mengajar Ilmu Komunikasi pada STFK Ledalero (2016-sekarang).
Pengalaman Yubilaris Selama Berkarya
Bagi Pater Agus, perjalanan panjang panggilannya hingga mencapai usia perak pada tahun 2016 diwarnai oleh pengalaman yang menyenangkan dan membahagiakan. Pengalaman bahagia yang serentak meneguhkan panggilannya adalah ketika menjadi misionaris di Sao Paulo-Brasil. Pada masa karyanya, Teologi Pembebasan yang dipelopori Leonardo Boff dan sebagian besar imam juga awam, sangat menjiwai karya pewartaan Sabda Allah kepada umat. Sasaran pewartaan pada saat itu sangat jelas, yaitu kaum pinggiran. Bagi dia, ada kebahagiaan tersendiri ketika berada dan berkarya di tengah kaum pinggiran. Keberadaan Yesus baginya saat itu terpatri megah dalam diri orang-orang yang dilayaninya.  
Sebagaimana manusia yang pada kodratnya tidak sempurna, tentu beliau tidak mengalami pengalaman bahagia dan menyenangkan secara total. Pengalaman menantang tentu tak terhindar dari perjalanan imamatnya. Beliau mengemukakan bahwa pengalaman paling menantang dan yang membuatnya merasa tidak aman adalah ketika menjadi Pemimpin Redaksi Harian Umum Flores Pos dan Mingguan Dian. Kala itu menguak pro dan kontra dalam tubuh PT. Ani yang membawahi Flores Pos, Dian dan majalah anak Kunang-Kunang.
Tantangan kembali menyusul mantan dosen Teologi Komunikasi di Driyakara ini ketika berada dan bertugas di KWI, Jakarta. Di sana beliau bertemu banyak orang dengan pluritas kultural. Beliau merasa kurang aman karena masih ada orang di sekitar tempat kerjanya yang masih memiliki pandangan, perspektif diskriminatif terhadap orang dari luar Pulau Jawa. Ditambah lagi dengan situasi Jakarta yang dihuni oleh orang-orang yang bercorak pikir dan bergaya hidup metropolitan. Kepandaian dan eksistensi sebagai imam serentak digugat dengan situasi seperti itu.
Meskipun demikian, situasi menantang ini tidak membuat putra kelahiran Alor ini jenuh dengan panggilan. Rasa jenuh baginya hanya muncul ketika seseorang tidak kreatif. Situasi menantang itu juga tidak membuatnya jauh dari Tuhan. Malahan baginya, tantangan mendesaknya untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Realitas yang menantang tidak memadamkan kobaran semangatnya untuk tetap menjadi pelayan Tuhan. Di balik kerapuhannya sebagai manusia, ia memunyai seberkas cahaya kekuatan yang senantiasa menuntun dan menguatkan langkah kakinya di tapak-tapak perjalanan panggilannya sebagai imam. Kekuatan itu adalah kesadaran akan kerapuhan diri. Pandangan ini terinspirasi dari moto tahbisan; “Yang Ada Padaku Cuma Ini”. Moto inspiratif ini diambil dari jawaban murid Yesus, ketika Dia hendak memberi makan lima ribu orang. “Cuma Ini” merupakan reduksi dari “Lima Roti”. Baginya, jawaban murid Yesus, “Yang Ada Pada Kami Hanya Lima Roti” menggambarkan kesadaran akan kerapuhan. Karena itu, lagi-lagi baginya “kekuatan itu lahir dari kesadaran akan kerapuhan”.
Berkat kekuatan yang lahir dari moto tahbisannya ini, Pater Agus dapat melangkah dengan pasti meraih perak imamat. Sadar akan kekuatan yang mengalir dari percikan rahmat Tuhan, beliau pun memaknai usia perak dengan satu kata yakni, “syukur”.
Sebagai yubilaris dan misionaris senior, penting bagi beliau untuk membagikan pengalaman petualangan imamatnya kepada misionaris muda. Pengalaman-pengalaman konstruktif itu direduksi dalam bentuk penilaian dan wejangan bagi konfrater muda. Karena itu, biarawan misionaris yang pernah menjadi Ketua Umum Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) pada tahun 2010 ini menyampaikan bahwa para konfrater muda harus mampu mengimbangi perkembangan yang ada sekarang. Sebab baginya, masyarakat yang kita hadapi sekarang bukanlah masyarakat agraris dengan pola hidup sekuensial. Kini, kita akan berada di tengah masyarakat era digital, masyarakat yang pintar, tidak tertinggal dari aneka informasi. Karena itu perlu bagi para konfrater muda untuk memiliki mentalitas metropolitan karena desa kita telah membuana (global village). Dalam arti hidup selaras zaman agar dapat connect dengan realitas yang ada. 




Penulis :
Frater Morghan Nikmat, SVD &
Frater Rudi Haryatno, SVD]

Frater Unit St. Rafael Tanam Anakan Mahoni

Seminariledalero.org - Para frater dari Unit St. Rafael bersama beberapa karyawan Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero menanam ratusan anakan pohon mahoni, Sabtu (4/3/2017) pagi. Kegiatan bertemakan upaya melestarikan lingkungan ini berlokasi di sepanjang kebun Unit St. Fransiskus Xaverius, Unit St. Gabriel dan Unit St. Mikhael.
Koordinator dan penyedia anakan mahoni Pater Ignas Ledot SVD mengatakan, penanaman ratusan anakan mahoni ini dibuat dalam rangka mengamalkan perintah Kapitel Provinsi SVD Ende XXII yakni menanam 500 pohon setiap tahun. Semua anggota Komunitas Ledalero, kata Pater Ignas, akan dilibatkan dalam kegiatan penanaman pohon ini.
Sementara itu, Frater Varis Riwu, SVD yang turut serta menanam anakan mahoni tersebut mengatakan penanaman yang dilakukan ini merupakan bukti nyata keterlibatan konfrater di Unit St. Rafael dalam mendukung karya misi SVD. Meskipun tidak semua konfrater bisa hadir, perwakilan dari unit setidak-tidaknya menunjukkan bahwa Unit St. Rafael menaruh perhatian dan turut serta dalam karya nyata SVD.
Berdasarkan pantauan Seminariledalero.org, anakan pohon yang ditanam dalam kegiatan tersebut berjumlah 113 anakan. Dengan demikian, berdasarkan rekomendasi Kapitel Provinsi SVD Ende XXII, masih ada 387 pohon yang mesti di tanam.
“Penghijauan yang menjadi salah satu misi SVD ini sangat baik. Para frater Unit St. Rafael siap untuk menanam lagi,” kata Frater Selo Lamatapo SVD, Ketua Unit St. Rafael.


Penulis Frater Dennis Hayon, SVD 

Komunitas Ledalero Rekoleksi Prapaskah di Kapel Agung Ledalero

Seminariledalero.org - Segenap anggota Komunitas Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero mengikuti rekoleksi Prapaskah di Kapel Agung Ledalero, Sabtu (4/3/2017) petang. Kegiatan rekoleksi yang bertujuan mengantar segenap anggota Komunitas Ledalero ke dalam refleksi pribadi selama masa puasa ini dipimpin Pater Raymundus Rede Blolong SVD.
Hadir dalam kegiatan ini Rektor Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero Pater Kletus Hekong SVD, para pastor, bruder, frater, suster dan karyawan-karyawati. Selain itu tampak hadir juga beberapa umat awam dari luar kompleks Seminari Ledalero.
Pater Raymundus dalam renungannya mencoba mengantar segenap umat ke dalam permenungan dengan mengetengahkan tema “Ofisi Kudus: Doa Gereja”, dengan teks referensi dari 1Tesalonika, 5:16–18. Tema ini diangkat  Pater Raymundus karena dirinya menilai bahwa akhir-akhir ini Ofisi Kudus atau yang sering dikenal dengan doa brevir atau ibadat harian terkesan tidak disenangi lagi dalam pelaksanaannya.
Minat terhadap Ofisi Kudus semakin hari semakin menurun karena ada yang menilai ofisi membosankan dan menjenuhkan. Banyak orang tidak mau lagi melaksanakan ibadat harian baik bersama maupun pribadi. Orang mulai menilai ofisi sebagai doa yang tidak relevan, tidak up to date, kaku dan bahkan dianggap kuno. Maka, Orang mulai memakai doa-doa yang singkat, cepat dan dinilai relevan dan up to date,” bebernya.
Pater Raymundus melanjutkan, “kita harus mengimplementasikan kehidupan ofisi menjadi relevan dalam kehidupan kita melalui doa dan kerja. Doa dan kerja adalah dua hal yang menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dalam doa dan kerja, nama Allah dimuliakan, hidup manusia disucikan dan kerjanya diberkati”.
Menurut Pater Raymundus, hidup kita harus diwarnai dengan sedekah, amal kasih, doa dan puasa. Poin-poin inilah yang bisa kita buat sehingga ofisi yang kita laksanakan menjadi relevan dengan tugas dan karya misioner kita sehingga ofisi itu tidak dinilai lagi membosankan, menjenuhkan, tidak relevan dan tidak up to date.
Semua ini bisa kita wujudkan lewat kehidupan konkret kita baik sebagai pater, bruder, suster, frater dan karyawan-karyawati. Dan saya harapkan supaya kita juga tidak hanya berdoa bagi diri kita sendiri, tetapi di masa puasa ini kita juga harus berdoa bagi samasaudara, keluarga, masalah-masalah sosial dan siapa saja yang meminta doa-doa kita,” katanya.
Pater Lukas Jua SVD selaku Dosen Kitab Suci di STFK Ledalero ketika dimintai komentarnya setelah rekoleksi tersebut menegaskan bahwa dirinya melihat tema yang diangkat oleh Pater Raymundus sangat penting. “Tema rekoleksi kita adalah tentang Brevir atau Ofisi Kudus dan ini tema yang sangat penting. Mengapa penting? Karena Ofisi Kudus atau brevir adalah doa Gereja atau doa umat yang resmi. Karena itu wajib didoakan,” tegasnya.
Pater Lukas Jua, SVD melanjutkan bahwa “sering kali terjadi kesan yang salah di antara umat bahwa Ofisi Kudus hanyalah doa kaum biarawan–biarawati. Oleh karena itu, umat harus diperbiasakan untuk mendaraskan doa-doa dalam Brevir karena Brevir adalah doa resmi Gereja yang wajib dilaksanakan oleh semua umat.
Dua hal penting yang mau saya tekankan agar Ofisi Kudus yang kita laksanakan setiap hari tidak membosankan, yakni pertama, menggunakan peluang pada bagian doa permohonan. Kita sebagai Serikat Sabda Allah (SVD), doa-doa kita harus bersifat misioner. Karena itu, kita harus memasukan dalam doa permohonan peristiwa-peristiwa besar dunia seperti hari HIV/AIDS sedunia, Hari Orang Sakit Sedunia, dan peristiwa lainnya. Praktisnya selama ini terkadang kita lupa akan peristiwa-peristiwa besar itu,” ungkapnya.
 Selanjutnya, hal kedua yang ditekankan Pater Lukas adalah orang harus melihat nilai dari Doa Brevir sehingga orang semakin bersemangat terutama pada Ofisi pagi hari. Karena itu, orang harus mampu untuk melawan godaan untuk tidur lebih lama pada pagi hari.
Sementara itu, Ketua Pelaksana Harian Biara Simeon Bruder Abraham Teling Tarung, SVD dalam kesan dan pesannya menyampaikan bahwa dirinya merasa senang dengan tema rekoleksi kali ini. Bruder Bram menilai, tema ini sangat relevan dengan situasi yang sedang dialami di Ledalero.
“Akhir-akhir ini orang-orang biara mulai meninggalkan ibadat harian. Andaikata dibuat pun terkesan terburu-buru mendaraskan mazmur agar cepat selesai karena sudah ada janjian dengan orang untuk inbox, telepon atau tugas lainnya yang sudah menunggu. Kalau zaman dulu, orang berdiri di taman-taman dengan memegang Brevir, tetapi sekarang orang lebih suka pegang handphone,” keluhnya.
Bruder Bram berharap pada masa Prapaskah ini segenap warga Ledalero mampu berbenah diri dengan cara mengikuti ibadat harian secara teratur. Segenap anggota komunitas, kata dia, harus menyadari apa yang sedang dibuat, jangan berdoa asal-asalan saja.
Sementara itu, Ketua Seksi Liturgi Unit St. Mikhael, Frater Marthin de Carvalho SVD dalam kesannya setelah mengikuti rekoleksi mengatakan bahwa dirinya cukup tergugah dengan apa yang diutarakan Pater Raymundus.
“Saya sangat tergugah dengan permenungan yang dibawakan oleh Pater Pater Raymundus Rede Blolong, SVD. Saya menilai bahwa ofisi yang kita buat selama ini sepertinya membosan apalagi mazmur-mazmur yang kita daraskan atau nyanyikan hanya dengan pola mazmur yang sama tanpa suatu variasi,” katanya.


Penulis Frater Frid Talan, SVD