(Bapak Uskup Maumere sedang Menumpangkan Tangan di atas Kepala Calon Diakon dalam Upacara Pentahbisan Diakon di Kapela Agung Seminari Tinggi Ledalero pada Minggu (2/6/2019) |
seminariledalero.org-- Bertepatan dengan Hari Minggu Komunikasi Sedunia, 12
frater SVD yang berkaul kekal ditahbiskan menjadi diakon oleh Bapak Uskup
Maumere Mgr. Edwaldus Martinus Sedu, Pr dalam perayaan Ekaristi di kapela agung
Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero pada Minggu (2/6/2019). Kedua belas frater tersebut adalah Frater Mikael
Emi Bernardus, Frater Benediktus Bnani, Frater Yos Angelikus Ebang Rebon,
Frater Yulius Krisdianto Ebot, Frater Tommy Nofriyanto Lehan, Frater Silvanus Nai Rale, Frater Beny Ardial
Raydais, Frater Yohanes Semau Riberu, Frater Aventinus Serundi, Frater Petrus
Tamonob, Frater Pridensius Tober, dan Frater Aloysius Ubaama Moron. Di bawah tema “Supaya Dunia Percaya”, mereka memilih untuk mengemban tugas sebagai hamba atau pelayan. Namun bukan menjadi hamba bagi dunia yang jatuh ke dalam materialisme dan
konsumerisme, individualism dan egoisme, melainkan menjadi hamba bagi sesama
yang tengah mencari wajah Allah
Sebelum ditahbiskan menjadi diakon, kedua belas frater
tersebut mendapat amanat dari uskup pentahbis. Pada bagian awal amanatnya,
Uskup Ewald mengutip pernyataan dari sebuah opini yang ditulis oleh seorang
imam diosesan pada September 2013 lalu yang berjudul: “Air Mata Tuhan di Tangga
Ledalero. “Semua mata tertuju pada sekumpulan anak-anak rerata usia 7-15 tahun.
Busana mereka indah dan sederhana. Senyum dan tatapan mereka melekat dalam bahagia semarak SVD. Suara
berbisik-bisik pun terekam dalam mikrofon
desain bawah tangga. Mereka melantunkan lagu dalam bahasa Palue. Pandangan itu
pun mengetuk hati dan menggugat aneka kemapanan status dan harga diri. Lima
hingga tujuh anak bernyanyi dengan meneteskan air mata, sedikit malu-malu
mengangkat wajah lugu, polos, dan damai. Air mata itu menetes di atas tangga
Ledalero yang mashyur. Menetes dalam pengabdian SVD selama seabad di
Indonesia.”
Menurut Uskup Ewald, narasi Air Mata Tuhan di Tangga
Ledalero ini
menjadi sebuah refleksi yang sangat mendalam tentang sebuah jembatan
kemanusiaan yang tidak pernah lekang dalam karya perutusan putra-putra Sang
Sabda, misionaris SVD yang sejati. Sukacita injili yang diwartakan, dihayati, dan
dihidupi oleh seorang putra Arnoldus tidak lagi sebatas perayaan kultis
liturgis, sebatas formalisme pastoral melainkan lebih dari itu, melintas batas
pada sudut-sudut kemanusiaan yang terpinggirkan, terlupakan dan terinjak-injak oleh keangkuhan kekuasaan hati yang
congkak. Kekuatan dan keagungan kita, menurut Uskup Ewald tidak terletak pada
gelar dan jabatan, melainkan pada hati dan tindakan yang berbelarasa
kemanusiaan dalam kasih Kristus sendiri.
Lebih lanjut Uskup yang murah senyum ini menegaskan bahwa
sebagai orang yang terpanggil, kita dipanggil untuk menghayati kesempurnaan
cinta kristiani dalam corak hidup kita masing-masing. Kasih kita hendaknya
terarah kepada persatuan dengan Bapa, Putra, dan Roh Kudus agar semua orang
bersatu dan supaya dunia percaya pada kekuatan belas kasih dan kerahiman Ilahi.
Oleh karena itu, beliau mengajak calon diakon untuk senantiasa hidup dalam
belas kasih dan kerahiman Tritunggal Mahakudus di tengah dunia saat ini dengan
segala tantangannya.
Pada bagian lain amanatnya, Uskup Ewald mengajak para
calon diakon untuk meneladani Stefanus Martir. “Telada Stefanus Martir
menghentakkan kita untuk keluar dari zona nyaman dan zona mapan pada sebuah
zona penuh risiko, ketika pelayanan dan pewartaan kita, harus teguh dan kokoh,
kuat dalam cinta dan pengharapan di dalam Kristus sendiri”, ungkapnya. Menurut beliau, teladan yang patut
ditiru dari Stefanus Martir adalah bahwa dia tidak memperjuangkan kekerasan
untuk melawan kekerasan, melainkan melawan kekerasan dengan kelembutan. Kelembutan
Stefanus itulah jalan martir yang
sesungguhnya.
Pada bagian akhir amanatnya, mantan Praeses Seminari
Tinggi St. Petrus Ritapiret ini mengajak para calon diakon untuk masuk dalam keheningan dan menjadikan rahmat tahbisan diakon sebagai
jalan yang teduh untuk menjadi imam Tuhan sendiri. “Masuklah dalam keheningan
hidupmu dan jadikanlah rahmat tahbisan diakon ini sebagai jalan yang teduh
untuk menjadi imam Tuhan sendiri. Kita akan sampai pada suatu titik penting
dalam pergulatan hati nurani kita, membedakan yang baik dan yang buruk, yang
benar dan yang salah, serta dengan lantang menyerukan doa Stefanus Martir dalam jatuh bangun
tugas kita kelak”, ungkapnya.
Sementara itu, Provinsial SVD Ende Pater Lukas Jua, SVD dalam sambutannya menegaskan bahwa kematian Stefanus Martir bukan
karena dia membagi-bagi makanan melainkan karena mewartakan Sabda Allah, yakni
Yesus dari Nazaret. Hal ini menurut beliau sangat cocok dengan diakon-diakon
SVD yang berciri khas Sabda Allah. Oleh karena itu, menurut beliau, pewartaan merupakan aspek yang paling penting
dalam seluruh praktik diakonat selama tiga bulan lebih ke depan. Tahbisan membuat para diakon secara
resmi boleh berkotbah dalam Ekaristi, dan Karena itu, dalam menyiapkan kotbah
harus disiapkan secara sunggu-sungguh.
Perayaan pentahbisan ini berlansung selama dua jam lebih
dari jam 09.00 sampai jam 11.15 dan dimeriahkan oleh kor gabungan para frater
SVD dan kelompok doa KBHTM. Usai perayaan pentahbisan ini, para diakon berfoto
bersama bapak Uskup di pelataran kapela
agung Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero dan dilanjutkan dengan resepsi siang
bersama. ***
Penulis & Editor: Flory Djhaut