Seminariledalro.org
– Seksi Akademi unit
Rafael menggelar Seminar tentang teror atas nama agama bertempat di Kamar Makan
unit Rafael, Selasa (14/11/2017). Seminar
ini dibawakan oleh Frater Leo Sivester, SVD dan dimoderasi oleh Frater Ferdi
Jehalut, SVD. Judul yang diangkat oleh
pemateri dalam seminar kali ini ialah “Teror atas nama Agama dalam Perspektif
Banalitas Kejahatan Hannah Arendt”. Pelaksanaan kegiatan ini menjadi suatu
bentuk latihan pertanggungjawaban Skripsi sebagai tugas akhir di STFK Ledalero.
Pembicara Frater Leo Silvester, SVD |
Pada bagian awal
pemaparan materinya, Fr. Leo Silvester mengutip pendapat C.P. Snow yang menegaskan
bahwa akar kejahatan umat manusia banyak dilakukan atas kepatuhan dari pada
pemberontakan. “Jika kita memandang sejarah panjang dan kelam dari umat
manusia, orang akan menemukan bahwa lebih banyak kejahatan yang menjijikan
dilakukan atas nama kepatuhan dari pada atas nama pemberontakan.”
Lebih lanjut
pemateri menegaskan, kepatuhan bukanlah suatu kehormatan tetapi kepatuhan
negatif yang menyulut para pelaku kejahatan untuk mengumbar kejahatan di ruang
publik. Penyebab utamanya adalah kekosongan yang diakibatkan oleh indoktrinasi
paham kekerasan.
Salah satu
contoh korban indoktrinasi adalah Eichmann yang memainkan peran penting di
balik peristiwa pendeportasian banyak orang Yahudi ke Kamp konsentrasi dan
melakukan pembunuhan massal terhadap jutaan orang Yahudi atas nama ketaatan
buta terhadap perintah Hitler dan ideologi Nazi.
Korban indoktrinasi atau dikenal dengan istilah pencucian
otak ini ditafsir oleh pemateri dalam terang pimikiran Hannah Arendt tentang
banalitas kejahatan. Menurut pemateri, Hannah Arendt melihat banalitas
kejahatan dalam diri Eichmann. Pemahaman banalitas menurut Arendt mengarah pada kekosongan yang membuat korban, dalam
hal ini Eichmann, menafikan peran nalar untuk berpikir kritis. Akar utamanya
ialah ketiadaan daya pikir dari korban.
Dalam pertanggungjawabannya di hadapan pengadilan di
Yerusalem, demikian Frater Leo, mengutip Hannah Arendt, Eichmann merasa tidak
bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya. Bahkan ia sendiri merasa
tidak bersalah ketika ditanyai oleh hakim, karena ia hanya menjalankan perintah
atasannya. Atas dasar itu, Arendt berargumen bahwa kejahatan yang
dilakukan oleh Eichmann adalah kejahatan
yang banal karena ketidakmampuan berpikirnya ketika dihadapkan dengan
kondisi-kondisi totalitarisme yang menggiringnya ke dalam tindakan kriminal
melawan orang Yahudi.
Kemudian Frater Leo menegaskan bahwa, apa yang dialami
oleh Eichmann tidak jauh berbeda dengan yang dialami oleh para teroris yang
bergabung dengan kelompok-kelompok radikal keagamaan. Mereka adalah orang-orang
yang terasing dan teralienasi akibat perkembangan modernisme. Mereka kemudian
berlindung di balik kelompok-kelompok radikal yang memberikan mereka identitas
yang pasti, serta jaminan hidup bahkan jaminan hidup di akhirat walau harus
merendahkan diri atau taat secara buta terhadap pimpinan mereka.
Menurut Frater Leo, persoalan terorisme juga dikaitkan
dengan radikalisme atas nama agama dan indoktrinasi otak yang menampilkan
kedangkalan berpikir manusia. Para teroris tidak lain adalah korban
indoktrinasi paham-paham keagamaan yang radikal. Namun lebih dari itu, teror
atas nama agama juga berkaitan dengan proses kedangkalan berpikir atau
ketidakmampuan berpikir manusia. Mereka juga adalah orang-orang yang tidak
mampu berimaginasi, membayangkan posisi orang lain terutama orang-orang yang
inosen yang kehilangan nyawanya hanya karena ketaatan buta terhadap perintah
“agama”.
Tesis yang diangkat oleh pemateri dalam Seminar ini
memantik rasa ingin tahu dan partispasi dari segenap peserta. Ada banyak
pertanyaan dari forum. Salah satu pertanyaan yang memantik partisipasi semua
perserta seminar ialah pertanyaan dari Fr. Edo Putra, SVD, yang mempertanyakan
penyebab indoktrinasi yang disebabkan oleh ketiadaan berpikir. Menurutnya,
penyebab ini kurang masuk akal. Eichmann sendiri adalah seorang intelektual.
Kekayaan intelektual ini membuat dia mampu berpikir. Adalah tidak masuk akal,
jika Echmann dalam tindakannya itu tidak sedang berpikir.
Menjawabi
pertanyaan itu, Frater Peter Tan, Mahasiswa Pascasarjana di STFK Ledalero,
membedah substansi pemikiran Arendt. Ketiadaan berpikir dalam terang pemikiran
Arendt bukan karena tidak berpengetahuan tetapi kekosongan yang membuat orang
tidak mampu berpikir kritis. Selain Frater Peter, Frater Faris, Mahasiswa
tingkat IV yang juga menulis skripsi tentang Hannah Arendt, menegaskan bahwa
berpikir menurut Arendt dibedakan dengan rasionalisasi. Berpikir menurut Arendt
selalu dikaitkan dengan kenyataan bagaimana si subjek yang bepikir berimaginasi
tentang akibat apa yang ditimbulkan terhadap orang lain bila ia
mengaktualisasikan suatu keputusan dalam tindakannya. Sedangkan rasionalisasi
tanpa pertimbangan semacam itu.
Hal yang sama juga ditegaskan oleh pemateri, Frater Leo
Silvester. Ia menjelaskan secara rinci pembedaan “berpikir” dan “rasionalisasi”
menurut Hannah Arendt. Dalam hal ini, ia sebenarnya mau menegaskan kembali apa
yang dijelaskan oleh forum sebelumnya.
Sebelum diskusi berakhir, moderator, Frater Ferdi
Jehalut, memberikan kesempatan kepada Pater Yosef Keladu Koten yang juga
sebagai pembimbing skripsi dari pamateri, untuk berbicara. Sebagai orang yang
ekspert dalam bidangnya, Pater Yosef, dosen Filsafat di Ledalero itu memberikan
beberapa buah penjelasan yang membuat para peserta seminar merasa puas. Setelah
pater memberikan satu dua penegasan, moderator lansung menutup kegiatan
seminari secara resmi.
(Frater Ferdi Jehalut, SVD dan Frater Rio Nanto, SVD)
No comments:
Post a Comment