Wednesday, November 15, 2017

Unit Rafael Gelar Seminar Tentang Teror Atas Nama Agama



Seminariledalro.org – Seksi Akademi unit Rafael menggelar Seminar tentang teror atas nama agama bertempat di Kamar Makan unit Rafael, Selasa (14/11/2017). Seminar ini dibawakan oleh Frater Leo Sivester, SVD dan dimoderasi oleh Frater Ferdi Jehalut, SVD. Judul  yang diangkat oleh pemateri dalam seminar kali ini ialah  “Teror atas nama Agama dalam Perspektif Banalitas Kejahatan Hannah Arendt”. Pelaksanaan kegiatan ini menjadi suatu bentuk latihan pertanggungjawaban Skripsi sebagai tugas akhir di STFK Ledalero.
           
 Pembicara Frater Leo Silvester, SVD
Kegiatan dimulai tepat pada pukul 20.30 dan berakhir pada pukul 22.00 Wita. Turut hadir dalam kegiatan ini, Prefek unit Rafael, Pater Yosep Keladu Koten, SVD dan anggota unit Rafael yang berjumlah 40 orang. Disaksikan Seminarledalero.org, para peserta begitu antusias mengikuti seluruh rangkain seminari sejak awal hingga selesai.
Pada bagian awal pemaparan materinya, Fr. Leo Silvester mengutip pendapat C.P. Snow yang menegaskan bahwa akar kejahatan umat manusia banyak dilakukan atas kepatuhan dari pada pemberontakan. “Jika kita memandang sejarah panjang dan kelam dari umat manusia, orang akan menemukan bahwa lebih banyak kejahatan yang menjijikan dilakukan atas nama kepatuhan dari pada atas nama pemberontakan.”
Lebih lanjut pemateri menegaskan, kepatuhan bukanlah suatu kehormatan tetapi kepatuhan negatif yang menyulut para pelaku kejahatan untuk mengumbar kejahatan di ruang publik. Penyebab utamanya adalah kekosongan yang diakibatkan oleh indoktrinasi paham kekerasan.
Salah satu contoh korban indoktrinasi adalah Eichmann yang memainkan peran penting di balik peristiwa pendeportasian banyak orang Yahudi ke Kamp konsentrasi dan melakukan pembunuhan massal terhadap jutaan orang Yahudi atas nama ketaatan buta terhadap perintah Hitler dan ideologi Nazi.
            Korban indoktrinasi atau dikenal dengan istilah pencucian otak ini ditafsir oleh pemateri dalam terang pimikiran Hannah Arendt tentang banalitas kejahatan. Menurut pemateri, Hannah Arendt melihat banalitas kejahatan dalam diri Eichmann. Pemahaman banalitas menurut Arendt mengarah  pada kekosongan yang membuat korban, dalam hal ini Eichmann, menafikan peran nalar untuk berpikir kritis. Akar utamanya ialah ketiadaan daya pikir dari korban.
            Dalam pertanggungjawabannya di hadapan pengadilan di Yerusalem, demikian Frater Leo, mengutip Hannah Arendt, Eichmann merasa tidak bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya. Bahkan ia sendiri merasa tidak bersalah ketika ditanyai oleh hakim, karena ia hanya menjalankan perintah atasannya. Atas dasar itu, Arendt berargumen bahwa kejahatan yang dilakukan  oleh Eichmann adalah kejahatan yang banal karena ketidakmampuan berpikirnya ketika dihadapkan dengan kondisi-kondisi totalitarisme yang menggiringnya ke dalam tindakan kriminal melawan orang Yahudi.
            Kemudian Frater Leo menegaskan bahwa, apa yang dialami oleh Eichmann tidak jauh berbeda dengan yang dialami oleh para teroris yang bergabung dengan kelompok-kelompok radikal keagamaan. Mereka adalah orang-orang yang terasing dan teralienasi akibat perkembangan modernisme. Mereka kemudian berlindung di balik kelompok-kelompok radikal yang memberikan mereka identitas yang pasti, serta jaminan hidup bahkan jaminan hidup di akhirat walau harus merendahkan diri atau taat secara buta terhadap pimpinan mereka.
            Menurut Frater Leo, persoalan terorisme juga dikaitkan dengan radikalisme atas nama agama dan indoktrinasi otak yang menampilkan kedangkalan berpikir manusia. Para teroris tidak lain adalah korban indoktrinasi paham-paham keagamaan yang radikal. Namun lebih dari itu, teror atas nama agama juga berkaitan dengan proses kedangkalan berpikir atau ketidakmampuan berpikir manusia. Mereka juga adalah orang-orang yang tidak mampu berimaginasi, membayangkan posisi orang lain terutama orang-orang yang inosen yang kehilangan nyawanya hanya karena ketaatan buta terhadap perintah “agama”.
            Tesis yang diangkat oleh pemateri dalam Seminar ini memantik rasa ingin tahu dan partispasi dari segenap peserta. Ada banyak pertanyaan dari forum. Salah satu pertanyaan yang memantik partisipasi semua perserta seminar ialah pertanyaan dari Fr. Edo Putra, SVD, yang mempertanyakan penyebab indoktrinasi yang disebabkan oleh ketiadaan berpikir. Menurutnya, penyebab ini kurang masuk akal. Eichmann sendiri adalah seorang intelektual. Kekayaan intelektual ini membuat dia mampu berpikir. Adalah tidak masuk akal, jika Echmann dalam tindakannya itu tidak sedang berpikir.
Menjawabi pertanyaan itu, Frater Peter Tan, Mahasiswa Pascasarjana di STFK Ledalero, membedah substansi pemikiran Arendt. Ketiadaan berpikir dalam terang pemikiran Arendt bukan karena tidak berpengetahuan tetapi kekosongan yang membuat orang tidak mampu berpikir kritis. Selain Frater Peter, Frater Faris, Mahasiswa tingkat IV yang juga menulis skripsi tentang Hannah Arendt, menegaskan bahwa berpikir menurut Arendt dibedakan dengan rasionalisasi. Berpikir menurut Arendt selalu dikaitkan dengan kenyataan bagaimana si subjek yang bepikir berimaginasi tentang akibat apa yang ditimbulkan terhadap orang lain bila ia mengaktualisasikan suatu keputusan dalam tindakannya. Sedangkan rasionalisasi tanpa pertimbangan semacam itu.
            Hal yang sama juga ditegaskan oleh pemateri, Frater Leo Silvester. Ia menjelaskan secara rinci pembedaan “berpikir” dan “rasionalisasi” menurut Hannah Arendt. Dalam hal ini, ia sebenarnya mau menegaskan kembali apa yang dijelaskan oleh forum sebelumnya.
            Sebelum diskusi berakhir, moderator, Frater Ferdi Jehalut, memberikan kesempatan kepada Pater Yosef Keladu Koten yang juga sebagai pembimbing skripsi dari pamateri, untuk berbicara. Sebagai orang yang ekspert dalam bidangnya, Pater Yosef, dosen Filsafat di Ledalero itu memberikan beberapa buah penjelasan yang membuat para peserta seminar merasa puas. Setelah pater memberikan satu dua penegasan, moderator lansung menutup kegiatan seminari secara resmi. 
(Frater Ferdi Jehalut, SVD dan Frater Rio Nanto, SVD)
           

No comments:

Post a Comment