Wednesday, April 18, 2018

Bermisi Melalui Puisi

Seminariledalero.org – Geliat sastra dalam konteks Nusa Tenggara Timur mengalami masa perkembangan yang menakjubkan. Banyak sastrawan muda telah mengukir prestasi dengan menerbitkan kumpulan puisi dan cerpen. Selain itu, pementasan teater dan monolog memiliki antusiasme yang tinggi dari masyarakat. Inilah suatu masa pencerahan sastra di NTT dimana sastra mulai digandrungi oleh hampir sebagian masyarakat. Apresiasi sastra juga menjadi suatu misi tersendiri bagi Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero. Melalui keindahan bahasa penghuni bukit Ledalero mengusung misi pewartaan pesan Sang Sabda. Inilah yang menjadi cikal bakal utama kelompok Arung Sastra Ledalero menggelar Malam Puisi. Kegiatan ini berlangsung pada malam 17 April 2018 pukul 21. 00 Wita di halaman Unit St. Arnoldus Janssen Nita Pleat.
Kegiatan ini dihadiri oleh semua pencinta puisi di bukit Sandar Matahari Ledalero. Selain itu ada juga beberapa undangan dari beberapa komunitas Sastra di Maumere. Suasana malam puisi begitu varitatif karena diselingi dengan instrumen dan lagu-lagu dari Nice Place Band. Dalam sapaan pembukaannya, Fr. Aping Edor, SVD sebagai pembawa acara mengucapkan apresiasi setinggi-tingginya kepada kelompok Arung Sastra Ledalero yang telah bekerja keras mempersiapkan acara malam puisi. Kelompok sastra ini menjadi salah satu kelompok minat di Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero. ASAL, demikian singkatan dari kelompok ini memiliki misi khusus melalui puisi dan monolog. Puisi-puisi yang dibawakan pada malam hari ini sebagian besar adalah hasil karya anggota kelompok ASAL. Setiap penulis puisi mendeklamasikan puisinya kemudian para peserta diberi kesempatan untuk memberi masukan berkaitan dengan isi puisi dan cara pembawaan puisi. Ada satu yang menarik dalam diskusi tersebut adalah mengenai relasi antara puisi dan politik. Dalam kesempatan itu, Fr. Haris Meo, SVD sebagai sesepuh ASAL menjelaskan esensi puisi dalam ruang publik. “Politik dan sastra memiliki kontribusi dalam peradaban ruang publik. Politik dan sastra sebagai komponen saling berhubungan dalam menulis sejarah dan mengontemplasikannya dalam bahasa estetika. Landasan filosofis ini diangkat dari pemikiran Filsuf Prancis Jacques Ranciere. Dalam salah satu karyanya, Disensus on politics and aestethics, Ranciere menulis”Seorang sastrawan tidak menggunakan kata hanya sebagai objek penulisan. Lebih dari itu, sastrawan menulis untuk sebuah komitmen politis”, jelasnya. Lebih lanjut dia menguraikan salah satu sastrawan yang getol berjuang melalui setiap puisinya adalah Wiji Tukul. Setiap puisi memiliki nilai yang mendalam untuk memperharui kehidupan sosial politik.
Model puisi berdimensi sosial ini kemudian dipersembahkan oleh Sr. Ela Talan, SSpS. Dalam puisinya yang berjudul “Ratapan tak Selesai”, dia menarasikan elegi kesengsaraan seorang perempuan yang menjadi korban perdagangan orang. Sisi feminis dan keahliannya dalam mendeklmasikan puisi membuat puisi tersebut menghipnotis seluruh undangan yang hadir. Puisi ini berhasil menyentuh daya afeksi para penonton sekaligus menggugah kesadaran akan esensi seni puisi dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat kecil. Banyak tanggapan positif terhadap puisi ini. Salah satunya adalah Fr. Koca Bani, SVD. Dia kagum akan perjuangan seorang biarawati dalam puisinya.
Di akhir acara, sesepuh ASAL, Fr. Yan Kaldija mengucapkan terima kasih kepada setiap
orang yang telah berjuang untuk membawa misi melalui puisi. “Dalam puisi usia bukan menjadi
halangan. Puisi melampui usia dan profesi. Mari kita terus mengembangkan bakat dalam berpuisi
karena dengan berpuisi kita memberi nilai estetika pada kehidupan”, ajaknya merendah. 

Oleh Fr. Rio Nanto, SVD
0821 4426 7004

No comments:

Post a Comment