Seminariledalero.org – Geliat sastra dalam konteks Nusa Tenggara Timur mengalami masa
perkembangan yang menakjubkan. Banyak sastrawan muda telah mengukir prestasi
dengan menerbitkan kumpulan puisi dan cerpen. Selain itu, pementasan teater dan
monolog memiliki antusiasme yang tinggi dari masyarakat. Inilah suatu masa
pencerahan sastra di NTT dimana sastra mulai digandrungi oleh hampir sebagian
masyarakat. Apresiasi sastra juga menjadi suatu misi tersendiri bagi Seminari
Tinggi St. Paulus Ledalero. Melalui keindahan bahasa penghuni bukit Ledalero
mengusung misi pewartaan pesan Sang Sabda. Inilah yang menjadi cikal bakal
utama kelompok Arung Sastra Ledalero menggelar Malam Puisi. Kegiatan ini berlangsung
pada malam 17 April 2018 pukul 21. 00 Wita di halaman Unit St. Arnoldus Janssen
Nita Pleat.
Kegiatan ini dihadiri oleh semua pencinta puisi
di bukit Sandar Matahari Ledalero. Selain itu ada juga beberapa undangan dari
beberapa komunitas Sastra di Maumere. Suasana malam puisi begitu varitatif
karena diselingi dengan instrumen dan lagu-lagu dari Nice Place Band. Dalam sapaan
pembukaannya, Fr. Aping Edor, SVD sebagai pembawa acara mengucapkan apresiasi setinggi-tingginya
kepada kelompok Arung Sastra Ledalero yang telah bekerja keras mempersiapkan
acara malam puisi. Kelompok sastra ini menjadi salah satu kelompok minat di Seminari
Tinggi St. Paulus Ledalero. ASAL, demikian singkatan dari kelompok ini memiliki
misi khusus melalui puisi dan monolog. Puisi-puisi yang dibawakan pada malam
hari ini sebagian besar adalah hasil karya anggota kelompok ASAL. Setiap
penulis puisi mendeklamasikan puisinya kemudian para peserta diberi kesempatan
untuk memberi masukan berkaitan dengan isi puisi dan cara pembawaan puisi. Ada satu
yang menarik dalam diskusi tersebut adalah mengenai relasi antara puisi dan
politik. Dalam kesempatan itu, Fr. Haris Meo, SVD sebagai sesepuh ASAL
menjelaskan esensi puisi dalam ruang publik. “Politik dan sastra memiliki
kontribusi dalam peradaban ruang publik. Politik dan sastra sebagai komponen
saling berhubungan dalam menulis sejarah dan mengontemplasikannya dalam bahasa
estetika. Landasan filosofis ini diangkat dari pemikiran Filsuf Prancis Jacques
Ranciere. Dalam salah satu karyanya, Disensus on politics and aestethics, Ranciere
menulis”Seorang sastrawan tidak menggunakan kata hanya sebagai objek penulisan.
Lebih dari itu, sastrawan menulis untuk sebuah komitmen politis”, jelasnya.
Lebih lanjut dia menguraikan salah satu sastrawan yang getol berjuang melalui
setiap puisinya adalah Wiji Tukul. Setiap puisi memiliki nilai yang mendalam
untuk memperharui kehidupan sosial politik.
Model puisi berdimensi sosial ini kemudian
dipersembahkan oleh Sr. Ela Talan, SSpS. Dalam puisinya yang berjudul “Ratapan
tak Selesai”, dia menarasikan elegi kesengsaraan seorang perempuan yang menjadi
korban perdagangan orang. Sisi feminis dan keahliannya dalam mendeklmasikan
puisi membuat puisi tersebut menghipnotis seluruh undangan yang hadir. Puisi ini
berhasil menyentuh daya afeksi para penonton sekaligus menggugah kesadaran akan
esensi seni puisi dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat kecil. Banyak
tanggapan positif terhadap puisi ini. Salah satunya adalah Fr. Koca Bani, SVD.
Dia kagum akan perjuangan seorang biarawati dalam puisinya.
Di akhir acara, sesepuh ASAL, Fr. Yan Kaldija
mengucapkan terima kasih kepada setiap
orang yang telah berjuang untuk membawa misi melalui puisi. “Dalam puisi usia bukan menjadi
halangan. Puisi melampui usia dan profesi. Mari kita terus mengembangkan bakat dalam berpuisi
karena dengan berpuisi kita memberi nilai estetika pada kehidupan”, ajaknya merendah.
orang yang telah berjuang untuk membawa misi melalui puisi. “Dalam puisi usia bukan menjadi
halangan. Puisi melampui usia dan profesi. Mari kita terus mengembangkan bakat dalam berpuisi
karena dengan berpuisi kita memberi nilai estetika pada kehidupan”, ajaknya merendah.
Oleh Fr. Rio Nanto, SVD
0821 4426 7004
0821 4426 7004
No comments:
Post a Comment