seminariledalero.org
- Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero menyelenggarakan Seminar
Nasional pada Sabtu (21/04/2018) di Aula St. Thomas Aquinas Ledalero. Seminar
dengan tema “Masalah Sorcery dan Witchcraft (Black Magic) di Flores” ini
menghadirkan dua pembicara yakni Dr. Alexander Jebadu, SVD, Dosen Misiologi
STFK Ledalero dan Dr. Matheus Purwatma, Dosen Misiologi Fakultas Teologi Sanata
Darma.
Kegiatan Seminar dipandu oleh moderator P. Ito Dhogo, SVD, Dosen Kitab Suci STFK Ledalero. Hadir pula dalam kegiatan seminar ini segenap civitas akademica STFK Ledalero, perwakilan dari kampus UNIPA Maumere dan beberapa undangan dari pihak pemerintah dan kepolisian.
Kegiatan Seminar dipandu oleh moderator P. Ito Dhogo, SVD, Dosen Kitab Suci STFK Ledalero. Hadir pula dalam kegiatan seminar ini segenap civitas akademica STFK Ledalero, perwakilan dari kampus UNIPA Maumere dan beberapa undangan dari pihak pemerintah dan kepolisian.
Rangkaian kegiatan Seminar dibuka oleh Ketua
Sekolah, P. Bernard Raho, SVD. Dalam kata pembukanya, Pater Bernard mengatakan
bahwa seminar ini adalah bagian dari upaya menghadirkan diskursus tentang
suanggi ke ranah publik. “Jika sebelumnya kita bicarakan secara sembunyi atau
takut-takut tentang ata janto, ata polo atau ata u’en, sekarang ini kita akan membicarakannya dengan
terang-benderang. Kita akan mendengarkan pemaparan dan berdiskusi, agar
pemahaman kita tentang tema ini bisa diperluas,” demikian tutur Pater Bernard.
Selanjutnya
pada pukul 09.00 WITA kegiatan seminar dengan resmi dibuka. Kedua pembicara dan
moderator dipersilakan mengambil tempat yang telah disediakan. Pembicara
pertama Dr. Alexander Jebadu membawakan makalah yang berjudul “Fakta Praktik Sorcery & Witchcraft (Ilmu Hitam) dan Daya Ilahi dari Air dan Garam Berkat”.
Makalah ini merupakan terjemahan dari paper yang dipresentasikan di Tagyatay,
Philipina dalam Konferensi International Masalah Suanggi se-Asia Pasifik yang
diselenggarakan oleh ASPAMIR (Asia Pacific Mission and Search).
Dalam
makalah ini Pater Alex membedah praktik Sorcery
dan Withcraft di tanah Flores. Paper ini merupakan kolaborasi dari tinjauan
pustaka dan hasil penelitian lapangan Pater Alex tentang tema suanggi di pulau
Flores. Pater Alex pertama-tama membedakan term Sorcery dan witchcraft. Sorcery dan witchcraft secara harafiah dapat diterjemahkan sebagai ilmu sihir
atau guna-guna. Namun, keduanya memiliki pengertian berbeda. Mengutip Evans
Pritchard, Pater Alex menulis: “Witchcraft
merupakan ekspresi dari sebuah kekuatan jahat dalam diri atau tubuh
seseorang. Adapun sorcery merupakan
penggunaan dari pengetahuan magic atau guna-guna tersebut.”
Berdasarkan
pengertian ini, Pater Alex membedah fenomena suanggi yang ada di Flores. Orang
Flores hemat Pater Alex secara sepintas tampaknya tidak membedakan dua jenis
utama ilmu hitam, sorcery dan witchcraft. Orang Flores hanya menyebut
praktik ilmu hitam dengan istilah janto
(Manggarai), polo (Ngada, Ende,
Nagekeo, Ende dan Lio), u’en (Sikka)
dan menaka’ang (Lamaholot); dan orang
yang mempraktikkannya dengan istilah ata
janto (Manggarai), ata polo
(Ngada, Nagekeo, Ende, dan Lio), ata u’en
(Sikka) atau ata menaka’ang
(Lamaholot). Namun, jika dilihat secara teliti dan rinci, distingsi sorcery dan wichtcraft juga sebenarnya
ada di antara orang-orang Flores. Hal ini disampaikan Pater Alex berdasarkan
beberapa penemuannya di lapangan. Hasil wawancaranya dengan beberapa informan
di wilayah Rego- Manggarai, menunjukkan bahwa para suanggi dapat meniupkan
kekuatan supranatural mereka dari jarak jauh hanya dengan menyentuh calon
korban yang ditargetkannya. Selain itu, berdasarkan cerita-cerita lepas dari
sejumlah informan ditemukan pula bahwa baik orang Manggarai, Ngada, Ende,
Nagekeo, Lio maupun Sikka mengklaim bahwa roh orang-orang yang bersuanggi juga
biasanya keluar pada malam hari dalam rupa binatang seperti kucing atau anjing
besar atau kuda.
Karena
itu, berkenaan dengan fenomena suanggi ini, Pater Alex mengambil pandangan
tegas bahwa para suanggi itu benar-benar ada dan nyata dalam masyarakat.Berdasarkan
penelitiannya ditemukan bahwa para suanggi itu walau mempunyai nama yang
berbeda di setiap daerah, tetapi memiliki motif dan cara kerja yang hampir
sama. Motif tindakan mereka ialah ingin mencelakakan orang lain karena beragam
alasan, entahkan cemburu secara sosial atau ekonomi. Sementara itu, meski cara
kerjanya beragam, satu hal yang dominan ditemukan ialah para suanggi sering membutuhkan medium tertentu untuk
mengirimkan roh jahat kepada targetnya berupa beberapa helai rambut, sepotong
korek api, sebuah peniti tua, dsb.
Daya Air Berkat
Fakta
adanya praktik-praktik suanggi di Flores telah pula memicu munculnya kelompok
lain yang ingin menetralisir atau paling kurang mengimbangi kekuatan mereka.
Pater Alex menyebut kelompok ini sebagai kaum pendoa. Kaum pendoa ini memiliki beragam kekuatan yang diklaim
sebagai kekuatan baik (white magic).
Mereka dapat membantu seseorang atau kelompok orang yang diserang kekuatan
jahat (suanggi).
Salah
satu informan yang masuk dalam kelompok ini Br. Hilarius Embu, SVD yang juga
merupakan salah satu penghuni tetap unit Paulus Ledalero. Dipaparkan bahwa Br.
Hila memiliki semacam kharisma dan rahmat khusus untuk mendeteksi penyakit yang
ada dalam tubuh seseorang entahkah itu bersifat medis atau non-medis. Dari
kategori non-medis tersebut, Br. Hila juga mampu melihat apakah sakit yang
diderita korban itu disebabkan oleh kekuatan alam (aliran sungai bawah tanah
atau kekuatan gas dari alam) atau justru oleh kekuatan jahat kiriman dari orang
lain.
Jika
seseorang itu sakit karena kiriman dari orang lain, Br. Hila akan menyuruhnya
atau keluarganya mencari aneka medium yang biasanya dikirim orang jahat ke
lingkungan tempat tinggal mereka. Jika medium itu sudah didapat, Br. Hila akan
mengukurnya dengan alat yang disebut Avometer. Menurut Br.Hila, sakit yang ada
dalam diri orang itu disebabkan oleh panas yang dihasilkan oleh medium-medium
tersebut. Alhasil, satu-satunya cara adalah dengan menetralisir kekuatan medium
itu. Berdasarkan kesaksian Br. Hila pula ditemukan bahwa satu-satunya cara
menetralisir kekuatan tersebut ialah dengan menggunakan air berkat. Air berkat
itu adalah air yang harus sudah diberkati oleh Imam tertahbis. Sebab, jika
tidak, medium itu tetap akan memancarkan kekuatannya.
Exorcisme dan Doa
Pembebasan
Setelah menyimak penjelasan panjang Pater Alex
tentang fenomena suanggi di Flores dan daya Ilahi Air Berkat, para peserta
seminar kemudian disuguhkan dengan pemaparan dari pembicara kedua, Dr. Matheus
Purwatma. Dr. Purwatma membawakan makalah berjudul “Excorcisme dan Doa
Pembebasan”. Dalam pemaparannya, Dr. Purwatma menegaskan lagi tesis dari Pater
Alex bahwa setan itu sungguh ada. Setan itu tidak hanya hadir dalam diri
sebagai penggoda, tetapi juga nyata dan ada sebagai ‘roh’ atau kekuatan jahat
yang kadang suka mengganggu atau menyerang manusia.
Untuk melawan setan seperti ini, Dr. Purwatma
memperkenalkan konsep Excorsisme dala ajaran Gereja Katolik. Excorcisme menurut
Dr. Purwatma adalah ikhtiar Gereja secara resmi untuk berdoa dalam nama Yesus
demi mengusir setan atau roh jahat yang ada atau berdiam dalam diri seseorang.
Excorcisme ada dua bentuk, pertama
excorcisme sederhana yakni tampak melalui sakramen pembabtisan. Dalam
excorcisme sederhana ini, semua Imam mempunyai wewenang untuk mengusir setan. Kedua, excorcisme besar, yakni
pengusiran setan dalam kasus-kasus tertentu. Pada excocisme besar, tidak semua
imam diperkenankan untuk melakukan praktik excocisme. Praktik excorcisme hanya
bisa dijalankan oleh imam-imam tertentu yang mendapat wewenang langsung dari
Uskup.
Oleh karena itu, kuasa seorang Exorcist dalam
melakukan praktik excorcisme hanya terbatas pada keuskupannya. Kuasa itu adalah
bagian dari pelayanan Gereja, jadi seorang imam yang menjalankannya, hemat Dr.
Purwatma, harus tunduk pada hirarki yang berwenang. “Jadi, jika seorang Imam
dari Jawa misalnya melakukan exorcis di sini, setan pasti tidak akan keluar,
sebab dia juga tahu bahwa Imam itu tidak punya otoritas di wilayah Flores,”
demikian guyon Dr. Purwatma.
Sesi Diskusi
Setelah pemaparan dari kedua materi selesai, sesi
diskusi pun dibuka. Oleh moderator, kesempatan ini dibagi lagi dalam dua sesi.
Setiap sesi menampilkan tiga orang penanya. Pada sesi pertama, salah seorang
penanya Pater Remi Ceme, SVD (Dosen Teologi Fundamental STFK Ledalero) bertanya
soal roh jahat yang tinggal dan menetap dalam diri manusia. “Apakah roh jahat
yang menetap dalam diri seorang suanggi itu tinggal permanen atau sementara
waktu saja?” Demikian pertanyaan pater Remi. Menjawabi pertanyaan ini, kedua
pemakalah sepakat bahwa pertanyaan ini memang sulit dijawab secara definitif
sebab kenyataan yang kita bahas ini adalah kenyataan supernatural yang tidak
bisa diidentifikasi secara inderawi. Namun, mereka sepakat bahwa roh itu bisa
tinggal sementara tetapi juga dalam konteks atau kasus tertentu bisa tinggal
atau menetap abadi.
Salah satu pertanyaan menarik datang pada sesi
kedua. Pertanyaan itu disampaikan oleh Obi, seorang Polisi dari Polres Sikka.
Obi bertanya: “Apakah tindakan suanggi bisa dibawa ke ranah pengadilan formal?
Atau apakah tindakan suanggi ini bisa dihukum sesuai hukum yang diterapkan
dalam negara ini?” Pater Alex yang menjawab pertanyaan ini mengatakan bahwa
kedua ranah ini (hukum positif dan suanggi) berbeda sehingga sulit dipadukan.
Hukum kita merupakan hukum positif, sementara itu suanggi itu realitas
supernatural yang melampaui kenyataan positif jadi pelaku kejahatan yang
menggunakan cara-cara ilmu hitam (suanggi) itu sulit untuk dihukum menggunakan
hukum positif.
Setelah menjawab aneka pertanyaan ini, semua proses
diskusi pun ditutup oleh moderator. Dalam kata penutupnya, moderator menegaskan
bahwa seluruh rangkaian seminar ini adalah usaha kita bersama untuk lebih
memahami praktik suanggi (sorcery dan
witchcraft) yang ada di sekitar kita
dan praktik exorxisme yang dilegalkan oleh Gereja Katolik. “Jadi, setelah
memahami setan dan cara mengusirnya, kita tinggal pilih apakah ingin jadi setan
atau ingin jadi pengusirnya,” kata Pater Ito yang disambut tawa segenap peserta
seminar.
Fr.
Johan Paji, SVD
No comments:
Post a Comment