Monday, April 23, 2018

STFK LEDALERO GELAR SEMINAR NASIONAL


seminariledalero.org - Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero menyelenggarakan Seminar Nasional pada Sabtu (21/04/2018) di Aula St. Thomas Aquinas Ledalero. Seminar dengan tema “Masalah Sorcery dan Witchcraft (Black Magic) di Flores” ini menghadirkan dua pembicara yakni Dr. Alexander Jebadu, SVD, Dosen Misiologi STFK Ledalero dan Dr. Matheus Purwatma, Dosen Misiologi Fakultas Teologi Sanata Darma.
Kegiatan Seminar dipandu oleh moderator P. Ito Dhogo, SVD, Dosen Kitab Suci STFK Ledalero. Hadir pula dalam kegiatan seminar ini segenap civitas akademica STFK Ledalero, perwakilan dari kampus UNIPA Maumere dan beberapa undangan dari pihak pemerintah dan kepolisian.

Rangkaian kegiatan Seminar dibuka oleh Ketua Sekolah, P. Bernard Raho, SVD. Dalam kata pembukanya, Pater Bernard mengatakan bahwa seminar ini adalah bagian dari upaya menghadirkan diskursus tentang suanggi ke ranah publik. “Jika sebelumnya kita bicarakan secara sembunyi atau takut-takut tentang ata janto, ata polo atau ata u’en, sekarang ini kita akan membicarakannya dengan terang-benderang. Kita akan mendengarkan pemaparan dan berdiskusi, agar pemahaman kita tentang tema ini bisa diperluas,” demikian tutur Pater Bernard.

Selanjutnya pada pukul 09.00 WITA kegiatan seminar dengan resmi dibuka. Kedua pembicara dan moderator dipersilakan mengambil tempat yang telah disediakan. Pembicara pertama Dr. Alexander Jebadu membawakan makalah yang berjudul “Fakta Praktik Sorcery & Witchcraft (Ilmu Hitam) dan Daya Ilahi dari Air dan Garam Berkat”. Makalah ini merupakan terjemahan dari paper yang dipresentasikan di Tagyatay, Philipina dalam Konferensi International Masalah Suanggi se-Asia Pasifik yang diselenggarakan oleh ASPAMIR (Asia Pacific Mission and Search). 

Dalam makalah ini Pater Alex membedah praktik Sorcery dan Withcraft di tanah Flores. Paper ini merupakan kolaborasi dari tinjauan pustaka dan hasil penelitian lapangan Pater Alex tentang tema suanggi di pulau Flores. Pater Alex pertama-tama membedakan term Sorcery dan witchcraft. Sorcery dan witchcraft secara harafiah dapat diterjemahkan sebagai ilmu sihir atau guna-guna. Namun, keduanya memiliki pengertian berbeda. Mengutip Evans Pritchard, Pater Alex menulis: “Witchcraft merupakan ekspresi dari sebuah kekuatan jahat dalam diri atau tubuh seseorang. Adapun sorcery merupakan penggunaan dari pengetahuan magic atau guna-guna tersebut.”

Berdasarkan pengertian ini, Pater Alex membedah fenomena suanggi yang ada di Flores. Orang Flores hemat Pater Alex secara sepintas tampaknya tidak membedakan dua jenis utama ilmu hitam, sorcery dan witchcraft. Orang Flores hanya menyebut praktik ilmu hitam dengan istilah janto (Manggarai), polo (Ngada, Ende, Nagekeo, Ende dan Lio), u’en (Sikka) dan menaka’ang (Lamaholot); dan orang yang mempraktikkannya dengan istilah ata janto (Manggarai), ata polo (Ngada, Nagekeo, Ende, dan Lio), ata u’en (Sikka) atau ata menaka’ang (Lamaholot). Namun, jika dilihat secara teliti dan rinci, distingsi sorcery dan wichtcraft juga sebenarnya ada di antara orang-orang Flores. Hal ini disampaikan Pater Alex berdasarkan beberapa penemuannya di lapangan. Hasil wawancaranya dengan beberapa informan di wilayah Rego- Manggarai, menunjukkan bahwa para suanggi dapat meniupkan kekuatan supranatural mereka dari jarak jauh hanya dengan menyentuh calon korban yang ditargetkannya. Selain itu, berdasarkan cerita-cerita lepas dari sejumlah informan ditemukan pula bahwa baik orang Manggarai, Ngada, Ende, Nagekeo, Lio maupun Sikka mengklaim bahwa roh orang-orang yang bersuanggi juga biasanya keluar pada malam hari dalam rupa binatang seperti kucing atau anjing besar atau kuda.

Karena itu, berkenaan dengan fenomena suanggi ini, Pater Alex mengambil pandangan tegas bahwa para suanggi itu benar-benar ada dan nyata dalam masyarakat.Berdasarkan penelitiannya ditemukan bahwa para suanggi itu walau mempunyai nama yang berbeda di setiap daerah, tetapi memiliki motif dan cara kerja yang hampir sama. Motif tindakan mereka ialah ingin mencelakakan orang lain karena beragam alasan, entahkan cemburu secara sosial atau ekonomi. Sementara itu, meski cara kerjanya beragam, satu hal yang dominan ditemukan ialah para suanggi  sering membutuhkan medium tertentu untuk mengirimkan roh jahat kepada targetnya berupa beberapa helai rambut, sepotong korek api, sebuah peniti tua, dsb.

Daya Air Berkat
Fakta adanya praktik-praktik suanggi di Flores telah pula memicu munculnya kelompok lain yang ingin menetralisir atau paling kurang mengimbangi kekuatan mereka. Pater Alex menyebut kelompok ini sebagai kaum pendoa. Kaum pendoa ini memiliki beragam kekuatan yang diklaim sebagai kekuatan baik (white magic). Mereka dapat membantu seseorang atau kelompok orang yang diserang kekuatan jahat (suanggi).

Salah satu informan yang masuk dalam kelompok ini Br. Hilarius Embu, SVD yang juga merupakan salah satu penghuni tetap unit Paulus Ledalero. Dipaparkan bahwa Br. Hila memiliki semacam kharisma dan rahmat khusus untuk mendeteksi penyakit yang ada dalam tubuh seseorang entahkah itu bersifat medis atau non-medis. Dari kategori non-medis tersebut, Br. Hila juga mampu melihat apakah sakit yang diderita korban itu disebabkan oleh kekuatan alam (aliran sungai bawah tanah atau kekuatan gas dari alam) atau justru oleh kekuatan jahat kiriman dari orang lain.

Jika seseorang itu sakit karena kiriman dari orang lain, Br. Hila akan menyuruhnya atau keluarganya mencari aneka medium yang biasanya dikirim orang jahat ke lingkungan tempat tinggal mereka. Jika medium itu sudah didapat, Br. Hila akan mengukurnya dengan alat yang disebut Avometer. Menurut Br.Hila, sakit yang ada dalam diri orang itu disebabkan oleh panas yang dihasilkan oleh medium-medium tersebut. Alhasil, satu-satunya cara adalah dengan menetralisir kekuatan medium itu. Berdasarkan kesaksian Br. Hila pula ditemukan bahwa satu-satunya cara menetralisir kekuatan tersebut ialah dengan menggunakan air berkat. Air berkat itu adalah air yang harus sudah diberkati oleh Imam tertahbis. Sebab, jika tidak, medium itu tetap akan memancarkan kekuatannya.

Exorcisme dan Doa Pembebasan
Setelah menyimak penjelasan panjang Pater Alex tentang fenomena suanggi di Flores dan daya Ilahi Air Berkat, para peserta seminar kemudian disuguhkan dengan pemaparan dari pembicara kedua, Dr. Matheus Purwatma. Dr. Purwatma membawakan makalah berjudul “Excorcisme dan Doa Pembebasan”. Dalam pemaparannya, Dr. Purwatma menegaskan lagi tesis dari Pater Alex bahwa setan itu sungguh ada. Setan itu tidak hanya hadir dalam diri sebagai penggoda, tetapi juga nyata dan ada sebagai ‘roh’ atau kekuatan jahat yang kadang suka mengganggu atau menyerang manusia. 

Untuk melawan setan seperti ini, Dr. Purwatma memperkenalkan konsep Excorsisme dala ajaran Gereja Katolik. Excorcisme menurut Dr. Purwatma adalah ikhtiar Gereja secara resmi untuk berdoa dalam nama Yesus demi mengusir setan atau roh jahat yang ada atau berdiam dalam diri seseorang. Excorcisme ada dua bentuk, pertama excorcisme sederhana yakni tampak melalui sakramen pembabtisan. Dalam excorcisme sederhana ini, semua Imam mempunyai wewenang untuk mengusir setan. Kedua, excorcisme besar, yakni pengusiran setan dalam kasus-kasus tertentu. Pada excocisme besar, tidak semua imam diperkenankan untuk melakukan praktik excocisme. Praktik excorcisme hanya bisa dijalankan oleh imam-imam tertentu yang mendapat wewenang langsung dari Uskup. 

Oleh karena itu, kuasa seorang Exorcist dalam melakukan praktik excorcisme hanya terbatas pada keuskupannya. Kuasa itu adalah bagian dari pelayanan Gereja, jadi seorang imam yang menjalankannya, hemat Dr. Purwatma, harus tunduk pada hirarki yang berwenang. “Jadi, jika seorang Imam dari Jawa misalnya melakukan exorcis di sini, setan pasti tidak akan keluar, sebab dia juga tahu bahwa Imam itu tidak punya otoritas di wilayah Flores,” demikian guyon Dr. Purwatma.

Sesi Diskusi
Setelah pemaparan dari kedua materi selesai, sesi diskusi pun dibuka. Oleh moderator, kesempatan ini dibagi lagi dalam dua sesi. Setiap sesi menampilkan tiga orang penanya. Pada sesi pertama, salah seorang penanya Pater Remi Ceme, SVD (Dosen Teologi Fundamental STFK Ledalero) bertanya soal roh jahat yang tinggal dan menetap dalam diri manusia. “Apakah roh jahat yang menetap dalam diri seorang suanggi itu tinggal permanen atau sementara waktu saja?” Demikian pertanyaan pater Remi. Menjawabi pertanyaan ini, kedua pemakalah sepakat bahwa pertanyaan ini memang sulit dijawab secara definitif sebab kenyataan yang kita bahas ini adalah kenyataan supernatural yang tidak bisa diidentifikasi secara inderawi. Namun, mereka sepakat bahwa roh itu bisa tinggal sementara tetapi juga dalam konteks atau kasus tertentu bisa tinggal atau menetap abadi.

Salah satu pertanyaan menarik datang pada sesi kedua. Pertanyaan itu disampaikan oleh Obi, seorang Polisi dari Polres Sikka. Obi bertanya: “Apakah tindakan suanggi bisa dibawa ke ranah pengadilan formal? Atau apakah tindakan suanggi ini bisa dihukum sesuai hukum yang diterapkan dalam negara ini?” Pater Alex yang menjawab pertanyaan ini mengatakan bahwa kedua ranah ini (hukum positif dan suanggi) berbeda sehingga sulit dipadukan. Hukum kita merupakan hukum positif, sementara itu suanggi itu realitas supernatural yang melampaui kenyataan positif jadi pelaku kejahatan yang menggunakan cara-cara ilmu hitam (suanggi) itu sulit untuk dihukum menggunakan hukum positif.

Setelah menjawab aneka pertanyaan ini, semua proses diskusi pun ditutup oleh moderator. Dalam kata penutupnya, moderator menegaskan bahwa seluruh rangkaian seminar ini adalah usaha kita bersama untuk lebih memahami praktik suanggi (sorcery dan witchcraft) yang ada di sekitar kita dan praktik exorxisme yang dilegalkan oleh Gereja Katolik. “Jadi, setelah memahami setan dan cara mengusirnya, kita tinggal pilih apakah ingin jadi setan atau ingin jadi pengusirnya,” kata Pater Ito yang disambut tawa segenap peserta seminar.

Fr. Johan Paji, SVD

No comments:

Post a Comment