§ Seminar Internasional Pesta Emas STFK Ledalero.
seminariledalero.org - “Andai
kata semua orang Islam betul-betul mengikuti Ibnu Rush, sang ahli teologi Islam
abad ke-12, dan semua orang Kristen mengikuti
Thomas Aquinas maka orang Kristen dan Islam bisa rukun dan bisa harmoni.
Alasannya, Thomas Aquinas meminjam beberapa pemikiran Ibn Rush. Thomas Aquinas
bisa menggabungkan teologi Kristen, Teologi Yahudi dan Yesus Kristus sampai ke
zaman kemudian dengan filsafat Yunani Aristoteles. Tetapi filsafat Yunani
Aristoteles juga sudah dikelola oleh Ibnu Rush di Spanyol. Ibnu Rush juga sudah
bisa membuat harmoni antara monotheisme Islam dengan filsafat Aristoteles.”
Pernyataan itu diungkapkan
Prof. Dr. Karel Steenbrink ketika menjadi narasumber dalam seminar
Internasional bertajuk “Pluralisme Teologis dalam Agama (Orang-orang Katolik di
Indonesia, Era Kemerdekaan 1945-2010)”. Seminar dilangsungkan di Aula St.
Thomas Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero, Sabtu (27/10).
Pernyataan tersebut, seperti diakui Prof. Dr. Karel Steenbrink, dikutip dari
pendapat sang mahaguru Prof. Houben ketika Dr. Karel Steenbrink masih mengenyam
pendidikan di seminari tinggi yang diasuh Kongregasi Hati Kudus Yesus dan Maria.
Pria Kelahiran Niederland 16
Januari 1942 ini memiliki minat yang mendalam pada agama Islam. Hal itu
terbukti dari kecintaannya pada filsafat Islam dan karier akademiknya berupa
melakukan penelitian Islam di Indonesia untuk disertasinya dengan mengambil
kosentrasi di pesantren Madrasah dan sekolah. Disertasi tersebut secara khusus
meneliti bagaimana sistem pendidikan Islam mampu menyesuaikan diri pada zaman
modern.
“Saya mengucapkan banyak hal
positif tentang Islam. Saya suka filsafat Islam. Saya juga suka tasawuf Islam.
Sesudah hampir 20 tahun kosentrasi untuk Islam, saya akhirnya pindah kosentrasi
studi yaitu pindah ke studi tentang katolik”, demikian kata pria yang pernah
mengajar di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini.
Acara seminar ini diawali dengan
acara peluncuran buku “Orang-orang Katolik di Indonesia, Era Kemerdekaan
1945-2010, jilid III” yang ditulis oleh Prof. Dr. Karel Steenbrink sendiri.
Karena itu, seminar Internasional ini juga mengulas beragam hal terkait
perkembangan agama Kristen Katolik di Indonesia.
“Dalam melakukan penelitian
untuk buku ini, saya menaruh perhatian khusus pada bagian konflik. Baik konflik
antara para misionaris dengan penjajah maupun konflik antara masyarakat
tradisional dengan misionaris. Kalau tidak memberikan perhatian pada konflik,
maka tidak enak juga dalam membaca sejarah apalagi dalam sejarah prusia.
Konflik itu menghasilkan progres. Tidak ada suatu perubahan tanpa perang,”
demikian kesimpulan Karel terkait perkembangan Kristen Katolik di Indonesia.
Penanggap dalam seminar ini
adalah dosen pascasarjana STFK Ledalero, Dr. John M. Prior dan dosen filsafat
Islam, Hendrikus Maku, S. Fil., M.Th., Lic. Seminar ini dimoderatori oleh Dr. Yohanes Monteiro. Pater John selaku penanggap
I mengatakan bahwa buku jilid III karya Prof. Dr. Karel Steenbrink merupakan
suatu jilid sejarah tentang Gereja Katolik di Indonesia.
“Buku jilid III merupakan suatu
jilid sejarah dan dilengkapi dengan seleksi dokumen-dokumen. Tetapi mau
sampaiakan apa? Sejarah tidak berpola linear. Tidak ada alur kemajuan dari masa
pramodern yang dikuasai adat istiadat dan disusul dengan masa modern yang
dibawa oleh pendidikan sekolah yang mengalah pada bahtera pascamodern dan
pascasekuler,” demikian tanggapan John terkait buku jilid III tersebut.
Peneliti Chandraditya ini
secara khusus menyinggung model misi oposisional yang dibawakan oleh para
misionaris awal. “Pada awalnya gelombang misionaris yang datang dari barat
menilai adat itu menghalangi kemajuan, bersifat magis malah kafir. Pokoknya
menghalangi modernisasi. Padahal, Piet Noyen menyebut bahwa orang Flores ini
adalah Naturalita Christiana. Pulau
ini mudah menjadi Kristen, kata Piet Noyen.
Jadi, pada dasarnya adat itu baik adanya. Adat istiadat setempat adalah akar penanaman Injil dan penyokong
bagi perkembangan Gereja. Jadi, sejarah Indonesia tidak dapat dipahami dalam
kategori-kategori barat melulu. Suatu kategori yang selalu bertolak belakang
misalnya tradisi lawan modern,” demikian tutur John secara lengkap.
Pada kesempatan lain, Pater
Hendrikus Maku, SVD selaku penanggap II secara khusus memperhatikan sikap
Gereja terhadap realitas kerusuhan yang terjadi sejak pertengahan 1996-1997. Sikap Gereja
yang ditunjukkan melalui surat gembala paskah 1997. Pater Hendrik menyatakan beberapa tafsiran atas bentrokan-bentrokan pada tahun 1996-1997 menuduh inteligen tentara sebagai otak
serangan. Dosen filsafat Islam itu juga menyatakan konon bentrokan-bentrokan ini didalangi
pasukan khusus agar dapat menuduh bahwa pemimpin oposisi Muslim Abdurrahman
Wahid berada di balik aksi-aksi kekerasan.
Pater Hendrik
juga melanjutkan bahwa konflik dan kerusuhan yang terjadi pada 1996-1997 itu
juga merupakan konflik agama. Pater Hendrik, demikian ia biasa disapa,
mempertanyakan sikap Gereja Katolik yang hanya memakai perspektif penindasan
sosial dan ekonomi dalam menanggapi kerusuhan tersebut. Menjawabi tanggapan
Pater Hendrik, Prof. Karel Steenbrink menyatakan bahwa ‘surat gembala paskah
1997’ hanya merupakan protes kepada Soeharto atas berbagai situasi bangsa.
Seminar yang
diselenggarakan oleh panitia pesta emas STFK Ledalero ini dihadiri oleh beragam
elemen masyarakat. Berdasarkan pantauan media ini, hadir dalam seminar internasional ini Ketua Sekolah STFK Ledalero,
para pimpinan biara dan konvik, utusan FORKOPIMDA Sikka, utusan Mahasiswa dari
UNIPA dan Muhamadiah Maumere, masyarakat umum, para dosen dan segenap civitas
akademika STFK Ledalero. Seminar internasional ini berakhir tepat pukul 12.00
WITA.
Penulis: Arsen Jemarut; editor:
Ferdi Jehalut.
No comments:
Post a Comment