Thursday, November 1, 2018

Kata Steenbrink tentang Islam dan Katolik di Indonesia


§  Seminar Internasional Pesta Emas STFK Ledalero.

seminariledalero.org - “Andai kata semua orang Islam betul-betul mengikuti Ibnu Rush, sang ahli teologi Islam abad  ke-12, dan semua orang Kristen mengikuti Thomas Aquinas maka orang Kristen dan Islam bisa rukun dan bisa harmoni. Alasannya, Thomas Aquinas meminjam beberapa pemikiran Ibn Rush. Thomas Aquinas bisa menggabungkan teologi Kristen, Teologi Yahudi dan Yesus Kristus sampai ke zaman kemudian dengan filsafat Yunani Aristoteles. Tetapi filsafat Yunani Aristoteles juga sudah dikelola oleh Ibnu Rush di Spanyol. Ibnu Rush juga sudah bisa membuat harmoni antara monotheisme Islam dengan filsafat Aristoteles.”


Pernyataan itu diungkapkan Prof. Dr. Karel Steenbrink ketika menjadi narasumber dalam seminar Internasional bertajuk “Pluralisme Teologis dalam Agama (Orang-orang Katolik di Indonesia, Era Kemerdekaan 1945-2010)”. Seminar dilangsungkan di Aula St. Thomas Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero, Sabtu (27/10). Pernyataan tersebut, seperti diakui Prof. Dr. Karel Steenbrink, dikutip dari pendapat sang mahaguru Prof. Houben ketika Dr. Karel Steenbrink masih mengenyam pendidikan di seminari tinggi yang diasuh Kongregasi Hati Kudus Yesus dan Maria.
Pria Kelahiran Niederland 16 Januari 1942 ini memiliki minat yang mendalam pada agama Islam. Hal itu terbukti dari kecintaannya pada filsafat Islam dan karier akademiknya berupa melakukan penelitian Islam di Indonesia untuk disertasinya dengan mengambil kosentrasi di pesantren Madrasah dan sekolah. Disertasi tersebut secara khusus meneliti bagaimana sistem pendidikan Islam mampu menyesuaikan diri pada zaman modern.  

“Saya mengucapkan banyak hal positif tentang Islam. Saya suka filsafat Islam. Saya juga suka tasawuf Islam. Sesudah hampir 20 tahun kosentrasi untuk Islam, saya akhirnya pindah kosentrasi studi yaitu pindah ke studi tentang katolik”, demikian kata pria yang pernah mengajar di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini. 

Acara seminar ini diawali dengan acara peluncuran buku “Orang-orang Katolik di Indonesia, Era Kemerdekaan 1945-2010, jilid III” yang ditulis oleh Prof. Dr. Karel Steenbrink sendiri. Karena itu, seminar Internasional ini juga mengulas beragam hal terkait perkembangan agama Kristen Katolik di Indonesia.  

“Dalam melakukan penelitian untuk buku ini, saya menaruh perhatian khusus pada bagian konflik. Baik konflik antara para misionaris dengan penjajah maupun konflik antara masyarakat tradisional dengan misionaris. Kalau tidak memberikan perhatian pada konflik, maka tidak enak juga dalam membaca sejarah apalagi dalam sejarah prusia. Konflik itu menghasilkan progres. Tidak ada suatu perubahan tanpa perang,” demikian kesimpulan Karel terkait perkembangan Kristen Katolik di Indonesia. 

Penanggap dalam seminar ini adalah dosen pascasarjana STFK Ledalero, Dr. John M. Prior dan dosen filsafat Islam, Hendrikus Maku, S. Fil., M.Th., Lic. Seminar ini dimoderatori oleh  Dr. Yohanes Monteiro. Pater John selaku penanggap I mengatakan bahwa buku jilid III karya Prof. Dr. Karel Steenbrink merupakan suatu jilid sejarah tentang Gereja Katolik di Indonesia.
“Buku jilid III merupakan suatu jilid sejarah dan dilengkapi dengan seleksi dokumen-dokumen. Tetapi mau sampaiakan apa? Sejarah tidak berpola linear. Tidak ada alur kemajuan dari masa pramodern yang dikuasai adat istiadat dan disusul dengan masa modern yang dibawa oleh pendidikan sekolah yang mengalah pada bahtera pascamodern dan pascasekuler,” demikian tanggapan John terkait buku jilid III tersebut.

Peneliti Chandraditya ini secara khusus menyinggung model misi oposisional yang dibawakan oleh para misionaris awal. “Pada awalnya gelombang misionaris yang datang dari barat menilai adat itu menghalangi kemajuan, bersifat magis malah kafir. Pokoknya menghalangi modernisasi. Padahal, Piet Noyen menyebut bahwa orang Flores ini adalah Naturalita Christiana. Pulau ini mudah menjadi Kristen, kata Piet Noyen. Jadi, pada dasarnya adat itu baik adanya. Adat istiadat setempat adalah akar penanaman Injil dan penyokong bagi perkembangan Gereja. Jadi, sejarah Indonesia tidak dapat dipahami dalam kategori-kategori barat melulu. Suatu kategori yang selalu bertolak belakang misalnya tradisi lawan modern,” demikian tutur John secara lengkap.

Pada kesempatan lain, Pater Hendrikus Maku, SVD selaku penanggap II secara khusus memperhatikan sikap Gereja terhadap realitas kerusuhan yang terjadi sejak pertengahan 1996-1997. Sikap Gereja yang ditunjukkan melalui surat gembala paskah 1997. Pater Hendrik menyatakan beberapa tafsiran atas bentrokan-bentrokan pada tahun 1996-1997 menuduh inteligen tentara sebagai otak serangan. Dosen filsafat Islam itu juga menyatakan konon bentrokan-bentrokan ini didalangi pasukan khusus agar dapat menuduh bahwa pemimpin oposisi Muslim Abdurrahman Wahid berada di balik aksi-aksi kekerasan.

Pater Hendrik juga melanjutkan bahwa konflik dan kerusuhan yang terjadi pada 1996-1997 itu juga merupakan konflik agama. Pater Hendrik, demikian ia biasa disapa, mempertanyakan sikap Gereja Katolik yang hanya memakai perspektif penindasan sosial dan ekonomi dalam menanggapi kerusuhan tersebut. Menjawabi tanggapan Pater Hendrik, Prof. Karel Steenbrink menyatakan bahwa ‘surat gembala paskah 1997’ hanya merupakan protes kepada Soeharto atas berbagai situasi bangsa. 
Seminar yang diselenggarakan oleh panitia pesta emas STFK Ledalero ini dihadiri oleh beragam elemen masyarakat. Berdasarkan pantauan media ini, hadir dalam seminar internasional ini Ketua Sekolah STFK Ledalero, para pimpinan biara dan konvik, utusan FORKOPIMDA Sikka, utusan Mahasiswa dari UNIPA dan Muhamadiah Maumere, masyarakat umum, para dosen dan segenap civitas akademika STFK Ledalero. Seminar internasional ini berakhir tepat pukul 12.00 WITA. 

Penulis: Arsen Jemarut; editor: Ferdi Jehalut.

No comments:

Post a Comment