Tuesday, January 16, 2018

Korupsi di Biara, Tantangan Misi


31 Fratres Calon Probanis Ikut Pembukaan “Discernment” Probasi


Seminariledalero.org - Korupsi di biara menjadi salah satu tantangan misi Allah yang diemban Serikat Sabda Allah atau Societas Verbi Divini (SVD) pada abad ke-21.

Hal ini disampaikan oleh Mantan Frater TOP di Collegio de Verbo Palaca Regio Timor Leste, Frater Eddy Sabon, SVD dalam acara pembukaan discernment probasi di Pendopo Timur Seminari Tinggi St Paulus Ledalero, Desa Takaplager, Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka, Sabtu (5/1).

Kegiatan pembukaan discernment probasi diikuti oleh 31 fratres SVD angkatan 75 intan tahun 2018 yang telah menyelesaikan masa praktik pastoral. Acara pembukaaan discernment probasi dipimpin Pater Yanuarius Lobo, SVD. Kegiatan dimulai pukul 08.30 Wita hingga pukul 12.00 Wita dan dilanjutkan pada pukul 16.30 Wita hingga Wita. Kegiatan discernment berlangsung selama tiga hari yakni dari Sabtu (5/1) hingga Senin (7/1).

31 fratres SVD itu adalah Frater Silvano Keo Bhaghi,SVD (SKHU Flores Pos), Frater Yohanes Un Berek, SVD (Seminari Sinar Buana Sumba Barat Daya), Frater Kocha Bani, SVD (Paroki St. Petrus dan Paulus Lamalera), Frater Tonce Bere, SVD (Paroki Roh Kudus Detukeli), Frater Iwan Agung, SVD (Seminari Santo Yohanes Maria Vianey Saumlaki), Frater Yohan Rogan, SVD (Seminari Santo Yudas Thadeus Langgur), Frater Yudi Keon, SVD (Paroki Alas), Frater Rius Salu, SVD (Paroki Santo Robertus Tilir), Frater Sintus Bria, SVD (SMAK Bina Karya Larantuka), Frater Modestus Purnomo Sole, SVD (SMAK dan SMKK Syuradikara Ende), Frater Zakarias Seran Daton, SVD (Paroki Yohanes Penginjil Masohi Maluku Tengah), Frater Paskalis Leuwayan (SMAK St. Ignatius Loyola), Frater Rudi Jeharum, SVD (Universitas Widya Mandira Kupang), Frater Yakobus A. Ria (SMPK St. Gabriel Larantuka), Frater Erik Ebot, SVD (OTP di Taiwan), Frater Eddy Sabon, SVD (Collegio de Verbo Palaca Regio Timor Leste), Frater Nus Narek, SVD (Paroki St. Gregorius Borong), Frater Ius Boruk, SVD (Seminari Pius XII Kisol), Frater Michy Emi, SVD (OTP di Taiwan), Frater Miki Bani, SVD (Paroki St. Maria Ratu Semesta Alam Hokeng), Frater Vian Talung, SVD (Seminari San Dominggo Hokeng), Frater Flori Djehaut, SVD (Vivat Internasional dan Paroki Matraman Jakarta), Frater Anton Meltin, SVD (Paroki St. Fransiskus Mamsena Kefamenanu), Frater San Mere, SVD (Yayasan Teratai Hati Papua), Frater Obby Dukarmo, SVD (Paroki St. Yohanes Maria Vianey Bula-Amboina), Frater James Tafuli, SVD (Pondok Pesantren Walisanga Ende), Frater Roni Hikon (Seminari Van Diepen Sorong), Frater Cello Gunadi, SVD (TRUK-F Maumere), Fr. Cornelson Sogen (Seminari St. Fransiskus Asisi Jayapura), Fr. Wilfridus Anin, SVD (Paroki Ampenan-Lombok), Fr. Yosman Seran, SVD (Seminari St. Yohanes Berchmans Todabelu-Mataloko).

Kegiatan pembukaan probasi dibuka dengan doa pembuka oleh Pater Yanus dan diisi dengan sherying pengalaman praktik tahun orientasi pastoral (TOP) selama 1, 5 tahun dari Juli 2016 hingga Desember 2017.


Cuplikan Pengalaman TOP/TOM.

31 fraters membagikan pengalaman kerja di tempat TOP sebagai dosen, wartawan, staf pengajar, bapak asrama, ekonom, penyiar televisi, pegawai kantor paroki, pembimbing pondok pesantren, prefek, aktivis dan moderator kelompok kategorial. “Tantangan yang saya alami di seminari adalah belum mengeluarkan siswa,” kata Frater Un Berek.

"Saya belajar menjadi bapak tanpa kehadiran seorang ibu," kata Frater Iwan.

"Hal yang menggembirakan saya adalah tantangan. Tantangan saya adalah medan misi yang berat di Tilir," kata Frater Rius Salu.

"Saya belajar menjadi orang Nagi," kata Frater Sintus.

"Tantangan saya adalah menghadapi anak-anak remaja yang masih labil… Frater Top adalah moderator bagi para siswa... saya belajar menjadi setia," kata Frater Pur.

"Budaya malu orang Maluku sangat kuat sehingga segala kelemahan, kekurangan dan kemarahan dipendam. Saatnya meluap, baru dikeluarkan. Dan itu lebih besar… Saya belajar budaya masyarakat yang berbeda. Watak orang Maluku sangat keras," kata Frater Zakarias.

"Mengajar menjadi kegembiraan saya.. mengajar menjadi pengobat luka... mengabdi untuk memanusiakan manusia," kata Frater Sky.

"Tantangan saya adalah situasi pendidikan di Papua. Pokoknya, sistem (pendidikan) kaget saja... tiba-tiba lulus, tiba-tiba naik kelas... Anak Papua itu baik, tetapi jangan buat mereka tersinggung... Saya belajar membawa diri dengan mereka," kata Frater Nelson Sogen.

"Hal yang menantang saya adalah di Mataloko tidak ada pantai... Tarian jai, saya cukup puas itu," kata Frater Yosman.

"Kesulitan terbesar saya adalah bagaimana mengatur waktu di dua komunitas karya yang berbeda, Komunitas Soverdi Kupang dan kampus Unwira... Di kampus, saya masuk bagian campus ministry," kata Frater Rudi.

"Saya frater Top pertama di komunitas PRR. Tetapi, saya orang kedua dalam SVD setelah Mgr Gabriel Manek, SVD... Tantangan terberat saya adalah bagaimana menjaga kesabaran... Saya belajar soal militansi dan profesionalitas.. di sana dituntut spesialisasi," kata Frater Yanto.

"Setiap hari kami bergelut dengan buku-buku tentang Taiwan... Saya ambil waktu untuk mengunjungi orang kusta di rumah sakit... Tantangan yang paling konkret adalah bagaimana pegang sumpit. Pater prefek mengajarkan kami satu hari untuk pegang sumpit. Tetap tidak bisa. Tantangan kedua antara ideal dan kenyataan ada perbedaan... Saya belajar interkulturalitas SVD yang lebih luas, bahasa dan budaya Taiwan, dan belajar berdewasa menghadapi antara ideal dan kenyataan," kata Frater Erik Ebot.

"Tantangan pertama konfrater senior menceritakan hal yang tidak suka kepada kita tentang konfrater yang tidak ia sukai agar kita masuk ke dalam golongan mereka. Sukuisme masih ada... Tantangan bahasa menghasilkan kebahagiaan... Kelemahan terbesar adalah konfrater melihat kelebihan konfrater sebagai saingan... korupsi di biara. Bagaimana mungkin kita berbicara tentang keadilan, sedangkan kita menyembunyikan uang siswa di saku jubah," kata Frater Eddy Sabon.

"Tantangan saya adalah memberikan kursus perkawinan untuk pasangan yang belum tua. Saya belum punya pengalaman menikah," kata Frater Nus.

"Saya terlalu dekat dengan anak-anak sehingga selalu berusaha mengerti mereka sekalipun melanggar aturan. Saya belajar menjadi pembina dan guru yang baik," kata Frater Ius.

"Selama 2 tahun di Taiwan adalah kegembiraan buat saya. Tidak ada tantangan yang berarti...Laporan keuangan sangat ketat. Tidak ada korupsi," kata Frater Michy.

"Tantangan yang saya alami, kesulitan mengikuti program hidup pribadi (PHP)... masalah yang sedang santer adalah masalah hak guna usaha... Perang terjadi di depan paroki dan seminari... Saya belajar untuk terlibat dalam kehidupan umat," kata Frater Miki Bani.

"Saya tidak pernah alami tantangan yang begitu hebat. Kalau ada tantangan, itu berasal dari diri sendiri. Tantangan kecil lain, Seminari Hokeng adalah gambaran Lamaholot yang cukup luas... dengan tingkat kepala batunya masing-masing... Saya dituntut menjadi orang yang lebih keras, terutama berhadapan dengan siswa," kata Frater Vian Talung.

"Kerja sebagai relawan kita harus keluar dari zona nyaman... Saya belajar memanagemen waktu... Tantangan saya, LSM berbicara atas dasar data dan fakta... Saya harus mencari referensi lain," kata Frater Flory.

"Saya bertemu dengan banyak orang dengan karakter masing-masing," kata Frater Anton.

"Hal yang menantang, saya terkejut dengan gaya Pater John Donga. Omong dan langsung buat... Kami merasa terancam juga karena laser masuk sampai ke rumah... dapat pengalaman baru, lihat koteka... hal yang saya petik, kita tidak hanya menilai dari sisi kita sendiri, kita juga perlu menilai dari sisi orang lain," kata Frater San.

"Saya dipacu lebih banyak berkreasi... tantangan, daerah cukup terisolasi... Pendidikan agak repot... medan pastoral dengan dua pulau dan dua musim yang berbeda... Penghargaan yang berlebihan terhadap pater dan frater juga menantang," kata Frater Obby.

"Saya praktik di Ponpes Walisanga Ende... Salah satu tantangan, tertuang dalam ad extra.. Kita membawa misi kemanusiaan, tetapi mereka memiliki orientasi lain... " kata Frater James.

"Seminari Van Diepen adalah seminari remaja, baru berusia 13 tahun... Kegembiraan lain, saya bisa membagikan bakat dan keahlian kepada anak-anak. Saya membentuk kelompok Seminari Petrus van Diepen (SPvD) Art’s. Anak Papua mampu. Mereka hanya butuh pendampingan," kata Frater Roni.

"Saya dipercayakan menangani bagian dokumentasi, yakni laporan kegiatan rutin Truk, publikasi, edukasi... Tantangan saya, masyarakat kita belum memiliki budaya bersyukur dan berterima kasih... Saya diajarkan satu hal, menjadi katolik dan SVD hanya punya arti kalau kita memiliki opsi yang jelas.. keberpihakan yang konkret," kata Frater Cello.

Memperkaya

Pater Yanus mengatakan, dengan shering, kita saling memperkaya satu sama lain. Kita menyadari pelajaran dari pengalaman di tempat praktik.

Pada akhir discernment, tiga konfrater memutuskan menarik diri dari SVD. Tiga konfrater itu adalah Frater Tonce Bere, SVD, Frater Yohan Rogan, SVD dan Frater Yosman Seran, SVD.

Selamat menempuh masa novisiat kekal/probasi bagi 28 konfrater dan selamat menjalani hidup baru bagi tiga konfrater yang menarik diri.

Oleh Silvano Keo Bhaghi
081 338 520 916
 

No comments:

Post a Comment