Tuesday, January 23, 2018

Inilah Empat Matra Khas SVD


Pater Eman: Kita Gunakan “Apreciative Approach”

seminariledalero.org - Inilah empat (4) dimensi karakteristik atau matra khas SVD yakni kerasulan kitab suci (bible apostolate), animasi misi (mission animation), keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan (justice, peace and integrity of creation/JPIC) dan komunikasi (communication). Empat matra khas SVD itu dirumuskan pertama kali dalam Kapitel Jenderal (General Capitel) Ke-XV Tahun 2000. Konteksnya adalah tahun yubileum 2000 dan hari ulang tahun (HUT) SVD Ke-125. 

Hal ini disampaikan oleh Staf Pusat Penelitian (Puslit) Candraaditya Maumere-Flores, Pater Eman Embu, SVD dalam program novisiat kekal bertajuk “Pengalaman TOP/TOM/OTP dalam Terang Ansos” hari kedua di Lantai 2 Pendopo Timur Seminari Tinggi Santo Paulus Ledalero, Desa Takaplager, Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka, Senin (22/1). Hadir dalam kesempatan itu 25 fratres novis kekal atau probanis angkatan 75 tahun 2018. Pater Eman membawakan materi tentang “Dimensi Karakteristik SVD.” Para frater yang melakukan praktik pastoral di Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRUK), Vivat Internasional Jakarta, Yayasan Teratai Hati Papua, Pondok Pesantren Walisanga-Ende dan SKHU Flores Pos membagikan pengalaman TOP.   


Tiga Tanggapan
Pater Eman mengatakan, SVD memberikan tiga (3) tanggapan terhadap empat matra khas itu yakni pertama, memberikan kesaksian tentang kerajaan Allah melalui kedua, dialog profetis yang ditandai dengan ketiga, matra-matra khas SVD. Mitra dialog profetis SVD yang utama adalah antara lain orang yang tidak mempunyai komunitas iman dan para pencari iman, orang miskin dan disingkirkan dan orang dari kebudayaan lain. Menurutnya, empat matra khas itu berakar dalam konstitusi (Konstitusi Nomor 106-115) dan warisan bapa pendiri. 

Pater Eman mengatakan, semua orang pada dasarnya menyetujui opsi keberpihakan kepada orang miskin. Akan tetapi, tidak semua orang menyetujui aksi konkret mewujudkan keberpihakan itu.
“Misalnya, pembangunan fasilitas publik yang ramah terhadap kaum difabel dianggap tidak penting karena jumlah mereka sedikit. Mereka melihat jumlah, tetapi tidak melihat kebutuhan konkret dari manusia secara pribadi. Kalau memakai kriteria jumlah, maka orang-orang terpinggirkan tidak akan bisa dibantu. Kita harus melihat kebutuhan real manusia konkret,” katanya.
Pater Eman mengatakan, kita memang mengalami kesulitan dalam medan misi. Akan tetapi, interaksi dan keterlibatan dengan orang-orang di mana kita mengabdikan diri membawa kegembiraan. Oleh karena itu, pendekatan problem (problem based approach) mesti diganti dengan pendekatan apresiatif (apreciative aproach).


“Appreciative Inquired”
Pater Eman mengatakan, orang biasanya bertolak dari problem (problem based aproach). Pohon masalah dirancang dan kemudian dicari solusi alternatif untuk menyelesaikannya.
“Akan tetapi, sekarang kita memakai apreciative inquiered. Apa nilai positif? Mimpi apa yang harus diraih? Apa yang kita buat untuk meraih mimpi?” katanya.

Pater Eman mengatakan, appreciative approach bertolak dari hal-hal yang positif. Ada banyak hal baik yang bisa membuat kita berkembang dalam berbagai aspek. Ini adalah alternatif pemecahan masalah selain problem solved approach.

“PSA (problem solved aproach) bertolak dari problem. Dalam AA (apreciative aproach), kita bertolak dari hal yang baik. Dalam hubungan dengan praktik pastoral, kita memulai dari hal yang baik. Kita memfokuskan diri pada hal yang baik itu,” katanya.


Evaluasi Kerja Sama
Frater Pembimbing di Pondok Pesantern Walisanga Ende, Frater James Tafuli, SVD mengatakan, hal-hal positif di Ponpes Walisanga Ende adalah ia terlibat dalam aktivitas mengajar, menjadi panitia gema Ramadhan se-Kabupaten Ende, melatih marching band dan mengajak adik-adik ke biara. Akan tetapi, menurutnya, misi dialog kemanusiaan di Ponpes Walisanga Ende perlu dihentikan untuk sementara waktu. Waktu jeda itu digunakan untuk melakukan evaluasi terhadap praktik kerjasama antara SVD dan Ponpes Walisanga yang sudah dimulai sejak tahun 1980-an pada masa kepemimpinan pendiri Haji Mahmud Eka.

“Setelah peralihan kekuasaan dari Haji Mahmud Eka, orientasi kerja sama menjadi lain,” katanya.



Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak
Frater Aktivis di TRUK Maumere, Frater Cello Gunadi mengatakan, hal-hal positif di TRUK adalah ia bisa melihat persoalan kemanusiaan khususnya anak dan perempuan yang mengalami kekerasan dari dekat, menyerahkan diri dan bekerja sama dengan para aktivis memperjuangkan hak perempuan dan anak, terlibat secara penuh dengan membuat laporan polisi dan menjadi pendamping hingga di pengadilan, belajar bekerjasama dengan lembaga NGO sesuai dengan kerangka kerja (logical frame work) LSM, menangani publikasi kepada lembaga donor, belajar bekerja dengan teliti, terampil dan disiplin. 

“Prioritas TRUK adalah membantu ibu dan anak yang mengalami kekerasan. Kekerasan memiliki banyak bentuk,” katanya.


Advokasi, Kampanye dan Lobi
Frater di Vivat Internasional Jakarta, Frater Flori Djehaut, SVD mengatakan, hal-hal positif di Vivat Internasional Jakarta adalah menangani majalah Vivat, belajar bertanya kepada orang yang lebih tahu tentang IT, menjadi tim relawan di Aceh, dilatih bekerjasama dengan lembaga-lembaga lain, belajar berjejaring dengan NGO lain, bertemu langsung dengan para korban, dan bertemu dengan orang-orang besar. Menurutnya, terdapat tiga tugas utama di Vivat yakni melakukan advokasi, kampanye dan lobi.

“Saya akan mengabdikan diri di bidang kemanusiaan,” katanya.


Lembaga Non-Profit
Frater di Yayasan Teratai Hati Papua (YTHP), Frater San Mere mengatakan, YTHP merupakan lembaga local non-profit yang bersifat independen. YTHP membantu kerja pastoral mengadovaksi kekerasan aparat kepada warga. 

“Selain itu, yayasan juga membantu pendidikan dan kesehatan,” katanya. 


Kerja Jurnalistik
Frater di SKHU Flores Pos, Frater Silvano Keo Bhaghi, SVD mengatakan, hal-hal positif di SKHU Flores Pos adalah belajar melakukan kerja jurnalistik sebagai wartawan dan editor dengan mencari, mengumpulkan, mengolah, menulis dan mengirim berita, belajar berkomunikasi dan melakukan wawancara dengan segala lapisan masyarakat, belajar menulis secara konkret, menjadi peka terhadap fenomena yang biasa, mengolah emosi berhadapan dengan penjabat yang temperamental dan primordial, terlibat dalam demokratisasi masyarakat secara politik dan menimba kekuatan rohani di Biara Santo Josef Ende.

“Hal positif lainnya adalah tahu bawa motor sebagai sarana misi Allah. Yesus dulu naik keledai,” katanya.


Oleh Silvano Keo Bhaghi
081 338 520 916


No comments:

Post a Comment