Cinta hanya
sebuah kata, sampai kita biarkan cinta itu menguasai kita dengan segenap
dayanya.
Cinta hanyalah sepatah kata, sampai
seseorang datang dan memberinya makna.
(Paulo Coelho,
Manuscript Found in Accra)
Saya selalu
membayangkan bahwa lakon itu akan tersaji seperti ini: Di bawah terik mentari
yang menyengat, Tuhan Yesus memikul salib-Nya dengan langkah gontai. Jalanan
menanjak. Tiris-tiris darah bak seduh mata air yang mengalir dari kedalaman
hatiNya yang sunyi nan suci, tercecer pada kerikil-kerikil tajam di sepanjang
jalan itu. Suara cemooh dan caci maki yang tak kunjung padam seperti dentum
paduan suara yang mengiris pedih terus mengalun. Gairah membunuh barangkali
lahir dari hasrat yang keliru, tumbuh dari rasa dahaga akan darah, dan
keinginan untuk memuaskan kerinduan mata untuk menyaksikan tontotan gratis yang
keji dan sadis. Mencekam. Nafsu memang selalu lebih mudah menjalar dari pada
rasa cinta; dendam selalu lebih enak membuai, membangkitkan libido keji yang
selalu menuntut tumbal.
Di tengah
kawanan massa yang mengamuk lantaran terbakar amarah itu, seorang perempuan
muda bernama Veronika, tiba-tiba datang mendekati Yesus. Berlutut di depan
Tuhan dalam cinta yang dibasuh air mata. Ia berpakaian serba hitam tanda duka.
Air mata merembes dari kelopak matanya, bukan terutama lantaran iba, melainkan
air mata yang menjelma serupa doa solidaritas, isyarat bela rasa yang tak
terbendung. Cinta yang dibasuh air mata akan selalu tampak lebih berkilau.
Barangkali
memang harus selalu seperti itu; di hadapan orang-orang yang berduka lantaran
kehilangan sanak saudara atau tragedi getir yang mendera, bukan terutama konsep
tentang Tuhan penuh kasih yang kita tawarkan atau basa-basi kata-kata
penghiburan semu. Yang perlu kita tunjukkan adalah bela rasa, solidaritas dan
tanggung jawab kemanusiaan untuk mengambil bagian dalam kedukaan itu. Karena
mereka yang berduka lantaran kematian, misalnya, bukan terutama karena mereka
tidak percaya akan kasih Tuhan yang besar itu, melainkan karena mereka
menyadari bahwa setelah itu, mereka akan menjalani hidup tanpa dia yang telah
meninggal itu.
Adegan itu berlangsung
tanpa kata. Hanya ada tatapan penuh kasih yang saling beradu dan debur cinta
yang menggelora. Bila cintamu melimpah, tiada lagi kata-kata. Berbekalkan
sepotong handuk putihnya, Veronika mengusap dan membersihkan wajah Tuhan. Perlahan. Tanpa ragu, apalagi malu. Ia
melakukannya dengan penuh cinta. Sebagai imbalannya, ia mendapat guratan abadi
wajah Tuhan yang memancarkan cinta. Sepotong wajah, yang menandakan kemiskinan
yang hakiki, namun serentak berkemilau cinta seribu pelangi. Bagi Veronika,
bila menyitir Paulo Coelho, cinta hanyalah sepatah kata, sampai seseorang
datang dan memberinya makna. Handuk itu, juga hanyalah sepotong benda, sampai
seseorang datang dan menjadikannya berarti. Pada wajah dalam sepotong handuk itu,
tulisan ini akan berpijak.
Wajah pada
Handuk Veronika
Wajah selalu
berbicara melalui kehadiran. Kehadiran wajah, menurut filsuf Emmanuel Levinas,
selalu merupakan signifikansi tanpa konteks. Wajah manusia tidak pernah berada
dalam konteks partikular atau bersifat relatif, ia bermakna dalam dan pada
dirinya sendiri. Dalam lakon Veronika, wajah Tuhan yang hadir di depan Veronika
dan kerumunan massa yang terbakar amarah itu, juga merelakan dirinya hadir dan
mengabadi dalam handuk Veronika. Di mata Tuhan, tak ada sesuatu yang tak
berarti di dunia ini, termasuk sepotong handuk. Veronika memanen kembali
butir-butir cintanya yang ia bagikan kepada Tuhan dalam rupa wajah Tuhan
sendiri. Saya mencoba membaca kehadiran wajah Tuhan dalam handuk Veronika ini
dalam dua perspektif berbeda yakni epifani wajah Levinas dan kisah Pengadilan
Terakhir seperti yang termuat dalam Matius 25:31-46.
Pertama, epifani wajah. Wajah yang lain di
hadapan saya, tidak pernah berdiam diri. Ia berbicara dan ketika ia berbicara,
keadaan saya diinterupsi olehnya. Levinas menulis “Wajah menatap saya dan
memanggil saya. Ia menuntut saya. Apa yang ia minta? Jangan tinggalkan ia
sendirian!”. Epifani wajah Levinas terpersonifikasi sebagai yang miskin, janda,
yatim piatu, orang asing dan telanjang. Karena itu, seruan jangan tinggalkan ia
sendirian menjadi seruan dari kaum miskin, janda, yatim piatu, orang asing dan
telanjang.
Dalam
perspektif epifani wajah ini, wajah Tuhan yang tergambar dalam handuk Veronika
menjadi cerminan dari wajah kaum miskin, orang asing, yatim piatu dan telanjang
yang butuh untuk dibasuh dengan penuh cinta. Pembasuhan ini, pertama-tama tidak
dilakukan melalui kata penghiburan semu dan nasihat-nasihat saleh nan suci
(kita ingat Tuhan Yesus yang menasihati wanita-wanita Yerusalem yang
menangisinya), melainkan terutama lewat tindakan (bandingkan tindakan Simon
dari Kirena yang ikut memikul salib Tuhan). Selalu ada jarak antara kata dan
tindakan.
Tuhan yang
miskin, yang tergambar dalam handuk Veronika hendak menyatukan dirinya dengan
jeritan umat yang melalui hari hidupnya dalam lembah kemiskinan, berbela rasa
dengan gelisah umat yang ketiadaan makanan dan solider dengan ratap tangis
anak-anak cacat di tengah absennya cinta kasih. Tuhan yang tampak sebagai orang
asing di tengah kerumunan massa yang terbakar amarah di jalan menuju Golgota
itu hendak menyatukan dirinya dengan orang-orang yang disingkirkan dan ditolak
oleh sesamanya, menyatu dengan para pengungsi yang harus meninggalkan tanah
airnya. Tanah air, bagi orang usiran, adalah kenangan dan masa lalu yang tak
gampang dilupakan. Tuhan yang hanya ditemani Bundanya dalam perjalanan yang
memedihkan itu, hendak menyatukan dirinya dengan orang-orang yang kehilangan
sanak saudara, ayah, ibu dan mendapati dirinya sebatang kara. Wajah Tuhan yang
telanjang, hendak bersolider dengan orang-orang yang hak hidupnya diinjak,
dicaci maki dan dijadikan mesin. Tuhan juga hendak menggugat mereka yang tak
lagi punya rasa malu, tak menghargai kemurnian tubuhnya sendiri, dan lebih
senang menjadikan tubuhnya sebagai komoditas perdagangan. Di tengah
mengglobalnya industri afeksi, sensualitas tubuh menjadi komoditas yang selalu
enak dan laku dijual.
Kedua, pengadilan terakhir. Wajah Tuhan
yang tergambar jelas dalam handuk Veronika serentak menghubungkan kita dengan
kisah Pengadilan Terakhir seperti tertuang dalam Matius 25:31-46. Dalam kisah
itu, Tuhan secara tegas menyatukan dirinya dengan orang yang lapar, haus, orang
asing, telanjang, sakit dan orang dalam penjara. “Sebab ketika Aku lapar, kamu
memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang
asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang kamu memberi Aku
pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu
mengunjungi Aku” (ay.35-36). Sekali lagi, Tuhan menunjukkan solidaritas, bela
rasa dan cinta tak terbatasNya dengan orang-orang yang menderita. Dulu, Veronika
telah menunjukkan cintanya dengan mengusap penuh kasih wajah duka Tuhan dengan
handuknya. Dan kini, usapan yang sama, Tuhan inginkan, agar kita arahkan kepada
orang yang lapar, haus, orang asing, sakit, telanjang dan berada dalam penjara.
Wajah: “Locus
Theologicus”
Veronika
mengusap wajah Tuhan dan sebagai imbalannya, ia mendapat guratan wajah Tuhan
dalam handuknya. Wajah Tuhan yang tergambar dalam handuk Veronika adalah sebuah
ingatan sekaligus ajakan bagi semua anggota Gereja untuk menjadikan orang
miskin, janda, yatim piatu, orang asing dan telanjang sebagai locus theologicus. Seperti halnya,
tindakan kasih Veronika, Gereja mesti mampu mengarahkan keterlibatan konsep dan
praksis teologisnya dengan menjadikan pemerdekaan ‘yang lain’ sebagai tujuan.
Gereja mesti terlibat sebagai perwujudan dari teologi terlibat. Tesis kunci
teologi terlibat, sebagaimana dikatakan Paul Budi Kleden adalah Allah yang
diimani dan hendak dipertanggungjawabkan di dalam teologi merupakan Allah yang
terlibat, Allah yang kekudusanNya tidak didefinisikan berdasarkan keterpisahanNya
yang statis dari dunia yang profan; tetapi Allah yang masuk ke dalam dunia dan
sejarah sebagai sumber inspirasi dan daya ubah bagi dunia. Allah yang
menawarkan diri demi keselamatan manusia, kata Budi Kleden, adalah Allah yang
melibatkan diri dalam nasib dan sejarah manusia, Allah yang peduli akan manusia
dan kehidupannya.
Tesis
kunci ini hendaknya mengarahkan perhatian semua anggota Gereja kepada kaum
miskin, janda, yatim piatu, orang asing dan telanjang. Keselamatan Allah yang
diwartakan dalam teologi mesti mampu ditunjukkan dalam upaya pemerdekaan dan
pembebasan ‘yang lain’ dari berbagai penderitaan dan persoalan yang mendera.
Gereja dan konsep teologisnya, mesti sekali lagi, menjejakkan dirinya pada
persoalan riil umat manusia. Veronika sudah memulai keterlibatan ini lewat
tindakan kasihnya mengusap wajah Yesus dengan handuknya. Cinta hanyalah sepatah
kata, sampai seseorang datang dan memberinya makna. Handuk hanyalah sepotong
benda, sampai seseorang datang menggunakannya dan menjadikannya bermakna.
Penulis : Fr. Kristo Suhardi, SVD |
No comments:
Post a Comment