Thursday, March 16, 2017

Jalan Salib Bersama Veronika

Cinta hanya sebuah kata, sampai kita biarkan cinta itu menguasai kita dengan segenap dayanya.
Cinta hanyalah sepatah kata, sampai seseorang datang dan memberinya makna.
(Paulo Coelho, Manuscript Found in Accra)

Saya selalu membayangkan bahwa lakon itu akan tersaji seperti ini: Di bawah terik mentari yang menyengat, Tuhan Yesus memikul salib-Nya dengan langkah gontai. Jalanan menanjak. Tiris-tiris darah bak seduh mata air yang mengalir dari kedalaman hatiNya yang sunyi nan suci, tercecer pada kerikil-kerikil tajam di sepanjang jalan itu. Suara cemooh dan caci maki yang tak kunjung padam seperti dentum paduan suara yang mengiris pedih terus mengalun. Gairah membunuh barangkali lahir dari hasrat yang keliru, tumbuh dari rasa dahaga akan darah, dan keinginan untuk memuaskan kerinduan mata untuk menyaksikan tontotan gratis yang keji dan sadis. Mencekam. Nafsu memang selalu lebih mudah menjalar dari pada rasa cinta; dendam selalu lebih enak membuai, membangkitkan libido keji yang selalu menuntut tumbal.
Di tengah kawanan massa yang mengamuk lantaran terbakar amarah itu, seorang perempuan muda bernama Veronika, tiba-tiba datang mendekati Yesus. Berlutut di depan Tuhan dalam cinta yang dibasuh air mata. Ia berpakaian serba hitam tanda duka. Air mata merembes dari kelopak matanya, bukan terutama lantaran iba, melainkan air mata yang menjelma serupa doa solidaritas, isyarat bela rasa yang tak terbendung. Cinta yang dibasuh air mata akan selalu tampak lebih berkilau.
Barangkali memang harus selalu seperti itu; di hadapan orang-orang yang berduka lantaran kehilangan sanak saudara atau tragedi getir yang mendera, bukan terutama konsep tentang Tuhan penuh kasih yang kita tawarkan atau basa-basi kata-kata penghiburan semu. Yang perlu kita tunjukkan adalah bela rasa, solidaritas dan tanggung jawab kemanusiaan untuk mengambil bagian dalam kedukaan itu. Karena mereka yang berduka lantaran kematian, misalnya, bukan terutama karena mereka tidak percaya akan kasih Tuhan yang besar itu, melainkan karena mereka menyadari bahwa setelah itu, mereka akan menjalani hidup tanpa dia yang telah meninggal itu.
Adegan itu berlangsung tanpa kata. Hanya ada tatapan penuh kasih yang saling beradu dan debur cinta yang menggelora. Bila cintamu melimpah, tiada lagi kata-kata. Berbekalkan sepotong handuk putihnya, Veronika mengusap dan membersihkan wajah Tuhan.  Perlahan. Tanpa ragu, apalagi malu. Ia melakukannya dengan penuh cinta. Sebagai imbalannya, ia mendapat guratan abadi wajah Tuhan yang memancarkan cinta. Sepotong wajah, yang menandakan kemiskinan yang hakiki, namun serentak berkemilau cinta seribu pelangi. Bagi Veronika, bila menyitir Paulo Coelho, cinta hanyalah sepatah kata, sampai seseorang datang dan memberinya makna. Handuk itu, juga hanyalah sepotong benda, sampai seseorang datang dan menjadikannya berarti. Pada wajah dalam sepotong handuk itu, tulisan ini akan berpijak.
Wajah pada Handuk Veronika
Wajah selalu berbicara melalui kehadiran. Kehadiran wajah, menurut filsuf Emmanuel Levinas, selalu merupakan signifikansi tanpa konteks. Wajah manusia tidak pernah berada dalam konteks partikular atau bersifat relatif, ia bermakna dalam dan pada dirinya sendiri. Dalam lakon Veronika, wajah Tuhan yang hadir di depan Veronika dan kerumunan massa yang terbakar amarah itu, juga merelakan dirinya hadir dan mengabadi dalam handuk Veronika. Di mata Tuhan, tak ada sesuatu yang tak berarti di dunia ini, termasuk sepotong handuk. Veronika memanen kembali butir-butir cintanya yang ia bagikan kepada Tuhan dalam rupa wajah Tuhan sendiri. Saya mencoba membaca kehadiran wajah Tuhan dalam handuk Veronika ini dalam dua perspektif berbeda yakni epifani wajah Levinas dan kisah Pengadilan Terakhir seperti yang termuat dalam Matius 25:31-46.
Pertama, epifani wajah. Wajah yang lain di hadapan saya, tidak pernah berdiam diri. Ia berbicara dan ketika ia berbicara, keadaan saya diinterupsi olehnya. Levinas menulis “Wajah menatap saya dan memanggil saya. Ia menuntut saya. Apa yang ia minta? Jangan tinggalkan ia sendirian!”. Epifani wajah Levinas terpersonifikasi sebagai yang miskin, janda, yatim piatu, orang asing dan telanjang. Karena itu, seruan jangan tinggalkan ia sendirian menjadi seruan dari kaum miskin, janda, yatim piatu, orang asing dan telanjang.
Dalam perspektif epifani wajah ini, wajah Tuhan yang tergambar dalam handuk Veronika menjadi cerminan dari wajah kaum miskin, orang asing, yatim piatu dan telanjang yang butuh untuk dibasuh dengan penuh cinta. Pembasuhan ini, pertama-tama tidak dilakukan melalui kata penghiburan semu dan nasihat-nasihat saleh nan suci (kita ingat Tuhan Yesus yang menasihati wanita-wanita Yerusalem yang menangisinya), melainkan terutama lewat tindakan (bandingkan tindakan Simon dari Kirena yang ikut memikul salib Tuhan). Selalu ada jarak antara kata dan tindakan.
Tuhan yang miskin, yang tergambar dalam handuk Veronika hendak menyatukan dirinya dengan jeritan umat yang melalui hari hidupnya dalam lembah kemiskinan, berbela rasa dengan gelisah umat yang ketiadaan makanan dan solider dengan ratap tangis anak-anak cacat di tengah absennya cinta kasih. Tuhan yang tampak sebagai orang asing di tengah kerumunan massa yang terbakar amarah di jalan menuju Golgota itu hendak menyatukan dirinya dengan orang-orang yang disingkirkan dan ditolak oleh sesamanya, menyatu dengan para pengungsi yang harus meninggalkan tanah airnya. Tanah air, bagi orang usiran, adalah kenangan dan masa lalu yang tak gampang dilupakan. Tuhan yang hanya ditemani Bundanya dalam perjalanan yang memedihkan itu, hendak menyatukan dirinya dengan orang-orang yang kehilangan sanak saudara, ayah, ibu dan mendapati dirinya sebatang kara. Wajah Tuhan yang telanjang, hendak bersolider dengan orang-orang yang hak hidupnya diinjak, dicaci maki dan dijadikan mesin. Tuhan juga hendak menggugat mereka yang tak lagi punya rasa malu, tak menghargai kemurnian tubuhnya sendiri, dan lebih senang menjadikan tubuhnya sebagai komoditas perdagangan. Di tengah mengglobalnya industri afeksi, sensualitas tubuh menjadi komoditas yang selalu enak dan laku dijual.
Kedua, pengadilan terakhir. Wajah Tuhan yang tergambar jelas dalam handuk Veronika serentak menghubungkan kita dengan kisah Pengadilan Terakhir seperti tertuang dalam Matius 25:31-46. Dalam kisah itu, Tuhan secara tegas menyatukan dirinya dengan orang yang lapar, haus, orang asing, telanjang, sakit dan orang dalam penjara. “Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku” (ay.35-36). Sekali lagi, Tuhan menunjukkan solidaritas, bela rasa dan cinta tak terbatasNya dengan orang-orang yang menderita. Dulu, Veronika telah menunjukkan cintanya dengan mengusap penuh kasih wajah duka Tuhan dengan handuknya. Dan kini, usapan yang sama, Tuhan inginkan, agar kita arahkan kepada orang yang lapar, haus, orang asing, sakit, telanjang dan berada dalam penjara.
Wajah: “Locus Theologicus”
          Veronika mengusap wajah Tuhan dan sebagai imbalannya, ia mendapat guratan wajah Tuhan dalam handuknya. Wajah Tuhan yang tergambar dalam handuk Veronika adalah sebuah ingatan sekaligus ajakan bagi semua anggota Gereja untuk menjadikan orang miskin, janda, yatim piatu, orang asing dan telanjang sebagai locus theologicus. Seperti halnya, tindakan kasih Veronika, Gereja mesti mampu mengarahkan keterlibatan konsep dan praksis teologisnya dengan menjadikan pemerdekaan ‘yang lain’ sebagai tujuan. Gereja mesti terlibat sebagai perwujudan dari teologi terlibat. Tesis kunci teologi terlibat, sebagaimana dikatakan Paul Budi Kleden adalah Allah yang diimani dan hendak dipertanggungjawabkan di dalam teologi merupakan Allah yang terlibat, Allah yang kekudusanNya tidak didefinisikan berdasarkan keterpisahanNya yang statis dari dunia yang profan; tetapi Allah yang masuk ke dalam dunia dan sejarah sebagai sumber inspirasi dan daya ubah bagi dunia. Allah yang menawarkan diri demi keselamatan manusia, kata Budi Kleden, adalah Allah yang melibatkan diri dalam nasib dan sejarah manusia, Allah yang peduli akan manusia dan kehidupannya.

          Tesis kunci ini hendaknya mengarahkan perhatian semua anggota Gereja kepada kaum miskin, janda, yatim piatu, orang asing dan telanjang. Keselamatan Allah yang diwartakan dalam teologi mesti mampu ditunjukkan dalam upaya pemerdekaan dan pembebasan ‘yang lain’ dari berbagai penderitaan dan persoalan yang mendera. Gereja dan konsep teologisnya, mesti sekali lagi, menjejakkan dirinya pada persoalan riil umat manusia. Veronika sudah memulai keterlibatan ini lewat tindakan kasihnya mengusap wajah Yesus dengan handuknya. Cinta hanyalah sepatah kata, sampai seseorang datang dan memberinya makna. Handuk hanyalah sepotong benda, sampai seseorang datang menggunakannya dan menjadikannya bermakna.

Penulis : 
Fr. Kristo Suhardi, SVD

No comments:

Post a Comment