§ Pater
Agust Alfons Duka, SVD
P. Agust Alfons Duka, SVD |
Benih panggilan untuk
menjadi misionaris bersemi saat berada di Seminari San Dominggo Hokeng (1979-1983).
Setelah menyelesaikan pendidikannya di seminari menengah, beliau masuk Novisiat
Ledalero (1984-1985). Selanjutnya beliau menyelesaikan studi filsafat pada STFK
Ledalero selama empat tahun (1985-1989). Sebelum mengikrarkan kaul kekal pada bulan
Agustus 1990, beliau menjalankan Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di Seminari Mataloko.
Sebagai biarawan
misionaris, kita tentu tidak hanya berdiam dan bertugas pada satu tempat saja.
Biarawan Misonaris sejati itu adalah pribadi yang berani berkarya di beberapa
tempat berbeda dengan pluralitas kultural. Pater Agust Duka, SVD segera
ditugaskan di Sao Paulo-Brasil setelah ditahbiskan di Nenuk, pada 29 September
1991 (1992-2000). Di Brasil, Pater Agus, sebagaimana disapa, tidak hanya berkarya
membangun iman umat, tetapi juga masuk Fakultas di Universidade Metodista de
San Bernardo do Campo, Sao Paulo-Brasil dengan mengambil jurusan Komunikasi
atas instruksi Provinsial Brasil (1997-2000).
Beberapa tahun
setelah menyelesaikan Studi, Pater Agus dipanggil kembali ke Indonesia, ke Provinsi
Ende oleh Provinsial Ende. Di Ende, misionaris yang pernah kursus musim dingin
Misiologi di Nemi-Roma ini menjadi Pemimpin Redaksi Harian Umum Flores Pos dan Mingguan Dian (2002-2006). Pengabdiannya dalam
dunia jurnalistik berjalan selama empat tahun.
Setelah itu, Pater
Agus beralih ke medan baru, yakni menjadi Sekretaris Eksekutif Komisi
Komunikasi KWI-Jakarta (2007-2014). Di kota metropolitan ini, Pater Agus juga
bergulat dengan banyak tugas lain yang dipercayakan kepadanya seperti Dosen
Teologi Komunikasi pada sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara-Jakarta,
menjadi Anggota Lembaga Sensor Film (LSF) Republik Indonesia, dan Anggota
Satuan Tugas Pemberantasan Pornografi dan Pornoaksi Departemen Agama Republik
Indonesia.
Sebelum dipanggil
kembali ke Provinsi Ende, pada tahun 2015, Pater Agus menjalani kursus Bahasa
Korea dan Tahun Sabbatical di Bidang Pastoral Migran dan Itineray People di
Seoul-Korea Selatan. Kini, beliau mengabdikan diri dalam Divisi Migran pada
Komisi Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan SVD Maumere Flores, sembari
mengajar Ilmu Komunikasi pada STFK Ledalero (2016-sekarang).
Pengalaman
Yubilaris Selama Berkarya
Bagi Pater Agus, perjalanan
panjang panggilannya hingga mencapai usia perak pada tahun 2016 diwarnai oleh
pengalaman yang menyenangkan dan membahagiakan. Pengalaman bahagia yang
serentak meneguhkan panggilannya adalah ketika menjadi misionaris di Sao Paulo-Brasil.
Pada masa karyanya, Teologi Pembebasan yang dipelopori Leonardo Boff dan
sebagian besar imam juga awam, sangat menjiwai karya pewartaan Sabda Allah
kepada umat. Sasaran pewartaan pada saat itu sangat jelas, yaitu kaum
pinggiran. Bagi dia, ada kebahagiaan tersendiri ketika berada dan berkarya di tengah
kaum pinggiran. Keberadaan Yesus baginya saat itu terpatri megah dalam diri
orang-orang yang dilayaninya.
Sebagaimana manusia
yang pada kodratnya tidak sempurna, tentu beliau tidak mengalami pengalaman
bahagia dan menyenangkan secara total. Pengalaman menantang tentu tak terhindar
dari perjalanan imamatnya. Beliau mengemukakan bahwa pengalaman paling
menantang dan yang membuatnya merasa tidak aman adalah ketika menjadi Pemimpin Redaksi
Harian Umum Flores Pos dan Mingguan Dian. Kala itu menguak pro dan kontra
dalam tubuh PT. Ani yang membawahi Flores
Pos, Dian dan majalah anak Kunang-Kunang.
Tantangan kembali
menyusul mantan dosen Teologi Komunikasi di Driyakara ini ketika berada dan
bertugas di KWI, Jakarta. Di sana beliau bertemu banyak orang dengan pluritas
kultural. Beliau merasa kurang aman karena masih ada orang di sekitar tempat
kerjanya yang masih memiliki pandangan, perspektif diskriminatif terhadap orang
dari luar Pulau Jawa. Ditambah lagi dengan situasi Jakarta yang dihuni oleh
orang-orang yang bercorak pikir dan bergaya hidup metropolitan. Kepandaian dan
eksistensi sebagai imam serentak digugat dengan situasi seperti itu.
Meskipun demikian, situasi
menantang ini tidak membuat putra kelahiran Alor ini jenuh dengan panggilan.
Rasa jenuh baginya hanya muncul ketika seseorang tidak kreatif. Situasi menantang
itu juga tidak membuatnya jauh dari Tuhan. Malahan baginya, tantangan mendesaknya
untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Realitas yang menantang tidak
memadamkan kobaran semangatnya untuk tetap menjadi pelayan Tuhan. Di balik kerapuhannya
sebagai manusia, ia memunyai seberkas cahaya kekuatan yang senantiasa menuntun
dan menguatkan langkah kakinya di tapak-tapak perjalanan panggilannya sebagai
imam. Kekuatan itu adalah kesadaran akan kerapuhan diri. Pandangan ini
terinspirasi dari moto tahbisan; “Yang Ada Padaku Cuma Ini”. Moto inspiratif
ini diambil dari jawaban murid Yesus, ketika Dia hendak memberi makan lima ribu
orang. “Cuma Ini” merupakan reduksi dari “Lima Roti”. Baginya, jawaban murid Yesus,
“Yang Ada Pada Kami Hanya Lima Roti” menggambarkan kesadaran akan kerapuhan. Karena
itu, lagi-lagi baginya “kekuatan itu lahir dari kesadaran akan kerapuhan”.
Berkat kekuatan yang
lahir dari moto tahbisannya ini, Pater Agus dapat melangkah dengan pasti meraih
perak imamat. Sadar akan kekuatan yang mengalir dari percikan rahmat Tuhan,
beliau pun memaknai usia perak dengan satu kata yakni, “syukur”.
Sebagai yubilaris dan
misionaris senior, penting bagi beliau untuk membagikan pengalaman petualangan
imamatnya kepada misionaris muda. Pengalaman-pengalaman konstruktif itu
direduksi dalam bentuk penilaian dan wejangan bagi konfrater muda. Karena itu,
biarawan misionaris yang pernah menjadi Ketua Umum Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia
(SAGKI) pada tahun 2010 ini menyampaikan bahwa para konfrater muda harus mampu
mengimbangi perkembangan yang ada sekarang. Sebab baginya, masyarakat yang kita
hadapi sekarang bukanlah masyarakat agraris dengan pola hidup sekuensial. Kini,
kita akan berada di tengah masyarakat era digital, masyarakat yang pintar,
tidak tertinggal dari aneka informasi. Karena itu perlu bagi para konfrater
muda untuk memiliki mentalitas metropolitan karena desa kita telah membuana (global village). Dalam arti hidup selaras zaman agar dapat connect dengan realitas yang ada.
Penulis :
Frater Morghan Nikmat, SVD &
Frater Rudi Haryatno, SVD]
No comments:
Post a Comment