Seminariledalero.org.
Seluruh
anggota Komunitas Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero mengikuti rekoleksi di
Kapela Agung Ledalero pada Kamis (7 September 2017) pukul 17.00 WITA. Rekoleksi
bersama ini dibuat dalam rangka menyongsong Pesta Keluarga pada Jumat (8
September 2017). Selain itu rekoleksi ini bertujuan untuk mendengarkan syering
dari sama saudara yang merayakan 50 tahun hidup membiara, 40 tahun imamat dan
hidup membiara serta 25 tahun imamat.
Dalam
rekoleksi tersebut hadir pula Pater Provinsial SVD Ende, P. Lukas Jua, SVD,
mantan Provinsial SVD Ende, P. Leo Kleden, SVD, Pater Rektor Seminari Tinggi
St. Paulus Ledalero, P. Kletus Hekong, SVD, Pater koordinator fratres, P.
Petrus Christologus Dhogo, SVD, Pater Ketua STFK Ledalero, P. Bernard Raho, SVD,
beberapa suster SSpS, para Pater dan Bruder dari Biara Simeon, para frater dan
karyawan-karyawati.
Para
pater yang berpesta, yaitu: P. John Mansford Prior, SVD, merayakan pesta Emas
Kaul (50 tahun Kaul); P. Albertus Magnus Novena, SVD, merayakan pesta Emas Kaul
(50 tahun Kaul); P. Bernardus Bunga Ama Keban, SVD merayakan Pancawindu Imamat;
P. Philipus Tule, SVD merayakan Pancawindu Kaul; P. Otto Gusti Madung Ndegong,
SVD merayakan Perak Kaul; dan P. Alfonsus Mana, SVD, P. Gregorius Nule, SVD, P.
Philipus Panda Koten, SVD, dan P. Yeremias Purin Koten, SVD merayakan Perak Imamat.
Dalam
rekoleksi di Kapela Agung Ledalero , hadir para yubilaris, P. John Mansford
Prior, SVD, P. Albertus Magnus Novena, SVD, P. Bernardus Bunga Ama Keban, SVD
dan P. Alfonsus Mana, SVD untuk mengisahkan kehidupan membiara mereka, mewakili
kelima Yubilaris lainnya yang tidak berkesempatan hadir.
P. John Prior, SVD dalam kesempatan
pertama untuk berbagi kisah tentang perjalanan hidup membiaranya, ia mengutip
kata-kata dari Uskup Rowan Williams, “Hal yang paling berat di dunia ini adalah
berada di tempat kita berada.” Dengan kutipan kata-kata tersebut ia berusaha
berkisah tentang pengalaman mengalami penolakan dalam misi religiusnya. “Pada
tahun 1974-1981 saya berkarya di Paroki St. Thomas Morus. Di tempat ini saya
mengalami banyak hal termasuk menyadari bahwa Tuhan selalu mencintai saya
melalui tantangan-tantangan yang dihadapkan kepada saya. Saya berusaha untuk
tetap tinggal demi melayani umat,” kata P. John.
Imam kelahiran tahun 1946 ini
menambahkan syeringnya tentang misinya di Paroki Wolofeo pada tahun 1981-1987.
P. John mengatakan bahwa di tempat misi di Wolofeo ada banyak pengalaman yang
dihadapinya. “Di Wolofeo selama tujuh tahun ada banyak pengalaman yang saya hadapi.
Saya melihat bahwa Tuhan selalu menguji ketabahan iman saya. Meskipun Tuhan
memberikan bermacam-macam tantangan saya tetap tinggal untuk melayani umat. Oleh
Karen itu, saya mau tegaskan bahwa hal yang paling berat di dunia ini adalah ketika
kita berada di tempat kita berada. Kita harus berusaha agar bisa menghadapi
setiap tantangan yang ada dan jangan pernah melarikan diri,” kata P. John
Prior, SVD.
Sementara itu Yubilaris thabisan tahun
1975, P. Albert Novena, SVD, dalam kesempatan syeringnya mengisahkan banyak
pangalaman misinya di berbagai tempat. Imam yang dithabiskan dengan motto
“Dengan cuma-cuma kamu menerimanya, dengan cuma-cuma kamu memberi,” lebih
banyak mensyeringkan pengalaman ketika belajar bahasa dan budaya orang lain,
khususnya di Bali. Namun, P. Albert Novena, SVD mengatakan bahwa berkat
kaul-kaul yang dihayatinya ia dibebaskan dari segala keterikatan sehingga ia
sanggup menghadapi segala yang ada di hadapannya.
Selanjutnya Yubilaris thabisan (06
Juli 1977), P. Bernard Bunga Ama Keban, SVD berbagi kisah hidup tentang
pergulatannya dengan keinginan dan cita-citanya. P. Bernard Bunga Ama Keban,
SVD mengatakan bahwa dirinya merasa lain dengan segala tugas misi yang ia
terima dari pemimpin serikat setelah menjadi imam. “Saya tidak suka bertugas di
lembaga seperti di Seminari. Saya lebih suka untuk bermisi di Paroki. Namun,
segala tugas yang saya terima ternyata di tempat yang tidak diinginkan. Saya
ditempatkan di Semianari Mataloko. Saya kemudian sadar bahwa motto thabisan
“Bersabdalah Tuhan, hambamu mendengar” menjadi nyata. Segala tugas yang
diberikan itu merupakan rencana Tuhan. Dan akhirnya saya mulai setia menjalani
setiap tugas yang diberikan kepada saya,” kata P. Bernard.
P. Alfons Mana, SVD yang berkesempatan
syering terakhir, membukanya dengan mengucapkan syukur atas karya Agung Allah.
Ia mengucapkan syukur atas anugerah kehidupan yang sehat yang dialaminya. Imam thabisan (29 September 1992) selanjutnya
mengisahkan bagaimana dirinya mengalami kasih Tuhan dalam hidupnya. “Saya
selama 25 tahun imamat ada begitu banyak peristiwa yang saya alami dan saya
sendiri tidak memahaminya. Waktu thabis, saya memilih motto “Rabi, di mana
Engkau tinggal?” kemudian saya memilih untuk merubahnya menjadi “Tuhan itu
baik.” Tentu ada alasannya saya memilih
motto yang baru. Pertama, Tuhan itu
baik ketika saya membutuhkan sesuatu yang tidak saya punya. Contoh, saya pernah
butuh uang dan Tuhan menolong saya lewat orang-orang sederhana. Orang-orang
sederhana yang saya jumpai memberikan sejumlah uang sehingga saya dapat
memenuhi kebutuhan saya. Kedua, Tuhan
itu baik ketika saya sedang dalam bahaya. Misalnya, di Papua saya pernah
berjalan kaki sendirian di malam yang gelap tanpa ada penerangan (senter).
Perjanan dalam jarak yang cukup jauh dan memakan waktu beberapa jam itu saya tempuh
tanpa merasa bahwa saya sadang berjalan dalam kegelapan. Saya merasa lain
karena selama perjalanan walau sudah gelap tetapi saya masih bisa melihat jalan
dengan jelas. Saya seperti berjalan di siang hari. Kedua alasan ini yang
membuat saya sadar bahwa Tuhan itu
baik,” kata P. Alfons Mana, SVD.
Penulis: Fr. Frid Talan, SVD
No comments:
Post a Comment