Saturday, September 9, 2017

Komunitas Ledalero Mengikuti Rekoleksi di Kapela Agung Ledalero



Seminariledalero.org.
          Seluruh anggota Komunitas Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero mengikuti rekoleksi di Kapela Agung Ledalero pada Kamis (7 September 2017) pukul 17.00 WITA. Rekoleksi bersama ini dibuat dalam rangka menyongsong Pesta Keluarga pada Jumat (8 September 2017). Selain itu rekoleksi ini bertujuan untuk mendengarkan syering dari sama saudara yang merayakan 50 tahun hidup membiara, 40 tahun imamat dan hidup membiara serta 25 tahun imamat.
          Dalam rekoleksi tersebut hadir pula Pater Provinsial SVD Ende, P. Lukas Jua, SVD, mantan Provinsial SVD Ende, P. Leo Kleden, SVD, Pater Rektor Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero, P. Kletus Hekong, SVD, Pater koordinator fratres, P. Petrus Christologus Dhogo, SVD, Pater Ketua STFK Ledalero, P. Bernard Raho, SVD, beberapa suster SSpS, para Pater dan Bruder dari Biara Simeon, para frater dan karyawan-karyawati.
          Para pater yang berpesta, yaitu: P. John Mansford Prior, SVD, merayakan pesta Emas Kaul (50 tahun Kaul); P. Albertus Magnus Novena, SVD, merayakan pesta Emas Kaul (50 tahun Kaul); P. Bernardus Bunga Ama Keban, SVD merayakan Pancawindu Imamat; P. Philipus Tule, SVD merayakan Pancawindu Kaul; P. Otto Gusti Madung Ndegong, SVD merayakan Perak Kaul; dan P. Alfonsus Mana, SVD, P. Gregorius Nule, SVD, P. Philipus Panda Koten, SVD, dan P. Yeremias Purin Koten, SVD  merayakan Perak Imamat.
          Dalam rekoleksi di Kapela Agung Ledalero , hadir para yubilaris, P. John Mansford Prior, SVD, P. Albertus Magnus Novena, SVD, P. Bernardus Bunga Ama Keban, SVD dan P. Alfonsus Mana, SVD untuk mengisahkan kehidupan membiara mereka, mewakili kelima Yubilaris lainnya yang tidak berkesempatan hadir.
P. John Prior, SVD dalam kesempatan pertama untuk berbagi kisah tentang perjalanan hidup membiaranya, ia mengutip kata-kata dari Uskup Rowan Williams, “Hal yang paling berat di dunia ini adalah berada di tempat kita berada.” Dengan kutipan kata-kata tersebut ia berusaha berkisah tentang pengalaman mengalami penolakan dalam misi religiusnya. “Pada tahun 1974-1981 saya berkarya di Paroki St. Thomas Morus. Di tempat ini saya mengalami banyak hal termasuk menyadari bahwa Tuhan selalu mencintai saya melalui tantangan-tantangan yang dihadapkan kepada saya. Saya berusaha untuk tetap tinggal demi melayani umat,” kata P. John.
Imam kelahiran tahun 1946 ini menambahkan syeringnya tentang misinya di Paroki Wolofeo pada tahun 1981-1987. P. John mengatakan bahwa di tempat misi di Wolofeo ada banyak pengalaman yang dihadapinya. “Di Wolofeo selama tujuh tahun ada banyak pengalaman yang saya hadapi. Saya melihat bahwa Tuhan selalu menguji ketabahan iman saya. Meskipun Tuhan memberikan bermacam-macam tantangan saya tetap tinggal untuk melayani umat. Oleh Karen itu, saya mau tegaskan bahwa hal yang paling berat di dunia ini adalah ketika kita berada di tempat kita berada. Kita harus berusaha agar bisa menghadapi setiap tantangan yang ada dan jangan pernah melarikan diri,” kata P. John Prior, SVD.
Sementara itu Yubilaris thabisan tahun 1975, P. Albert Novena, SVD, dalam kesempatan syeringnya mengisahkan banyak pangalaman misinya di berbagai tempat. Imam yang dithabiskan dengan motto “Dengan cuma-cuma kamu menerimanya, dengan cuma-cuma kamu memberi,” lebih banyak mensyeringkan pengalaman ketika belajar bahasa dan budaya orang lain, khususnya di Bali. Namun, P. Albert Novena, SVD mengatakan bahwa berkat kaul-kaul yang dihayatinya ia dibebaskan dari segala keterikatan sehingga ia sanggup menghadapi segala yang ada di hadapannya.
Selanjutnya Yubilaris thabisan (06 Juli 1977), P. Bernard Bunga Ama Keban, SVD berbagi kisah hidup tentang pergulatannya dengan keinginan dan cita-citanya. P. Bernard Bunga Ama Keban, SVD mengatakan bahwa dirinya merasa lain dengan segala tugas misi yang ia terima dari pemimpin serikat setelah menjadi imam. “Saya tidak suka bertugas di lembaga seperti di Seminari. Saya lebih suka untuk bermisi di Paroki. Namun, segala tugas yang saya terima ternyata di tempat yang tidak diinginkan. Saya ditempatkan di Semianari Mataloko. Saya kemudian sadar bahwa motto thabisan “Bersabdalah Tuhan, hambamu mendengar” menjadi nyata. Segala tugas yang diberikan itu merupakan rencana Tuhan. Dan akhirnya saya mulai setia menjalani setiap tugas yang diberikan kepada saya,” kata P. Bernard.
P. Alfons Mana, SVD yang berkesempatan syering terakhir, membukanya dengan mengucapkan syukur atas karya Agung Allah. Ia mengucapkan syukur atas anugerah kehidupan yang sehat yang dialaminya.  Imam thabisan (29 September 1992) selanjutnya mengisahkan bagaimana dirinya mengalami kasih Tuhan dalam hidupnya. “Saya selama 25 tahun imamat ada begitu banyak peristiwa yang saya alami dan saya sendiri tidak memahaminya. Waktu thabis, saya memilih motto “Rabi, di mana Engkau tinggal?” kemudian saya memilih untuk merubahnya menjadi “Tuhan itu baik.”  Tentu ada alasannya saya memilih motto yang baru. Pertama, Tuhan itu baik ketika saya membutuhkan sesuatu yang tidak saya punya. Contoh, saya pernah butuh uang dan Tuhan menolong saya lewat orang-orang sederhana. Orang-orang sederhana yang saya jumpai memberikan sejumlah uang sehingga saya dapat memenuhi kebutuhan saya. Kedua, Tuhan itu baik ketika saya sedang dalam bahaya. Misalnya, di Papua saya pernah berjalan kaki sendirian di malam yang gelap tanpa ada penerangan (senter). Perjanan dalam jarak yang cukup jauh dan memakan waktu beberapa jam itu saya tempuh tanpa merasa bahwa saya sadang berjalan dalam kegelapan. Saya merasa lain karena selama perjalanan walau sudah gelap tetapi saya masih bisa melihat jalan dengan jelas. Saya seperti berjalan di siang hari. Kedua alasan ini yang membuat saya  sadar bahwa Tuhan itu baik,” kata P. Alfons Mana, SVD. 

Penulis: Fr. Frid Talan, SVD

No comments:

Post a Comment