Seminariledalero.org –
Kelompok Minat Menulis di Koran (KMK) dan Forum Diskusi Filsafat Ledalero gelar
diskusi pertama tahun ajaran 2017/2018, Jumat,
(18/08/2017). Diskusi berlangsung di ruangan Osias Filosofan dan dimoderasi
oleh Fr. Rio Nanto, SVD dengan narasumber Florianus Geong, S.Fil.
Hadir dalam diskusi ini para anggota
KMK dan Forum Diskusi Filsafat Ledalero dan utusan dari Team Relawan untuk
Kemanusiaan Flores (TRuK-F) Maumere. Disaksikan seminariledalero.org, diskusi
berlangsung lancar.
Dalam bagian awal materinya,
Florianus Geong menguraikan secara singkat sejarah dan dua masalah pokok yang sedang dialami oleh
masyarakat Papua saat ini yang menjadi tantangan sekaligus menjadi perhatian
utama para pejuang HAM di sana. Kedua masalah itu ialah ancaman separatis dan
kasus pelanggaran HAM berupa penembakan dan modus-modus lainnya.
“Jika kita berbicara tentang Papua
saat ini, kita tidak bisa terlepas dari kedua masalah itu. Banyak orang bahkan
Pemerintah Indonesia sendiri keliru menangkap persoalan utama masyarakat Papua.
Persoalan utama masyarakat Papua bukan terletak pada keterbelakangan dan
ketertinggalan pembangunan, melainkan terletak pada bahaya ancaman separatis
dan pelanggaran HAM dalam berbagai macam modusnya,” tegas Florianus Geong yang
adalah seorang pejuang HAM yang tergabung dalam Yayasan Teratai Hati Papua.
Menurutnya, akar munculnya gerakan-gerakan
separatis di Papua dapat ditemukan dalam sejarah tanah Papua itu sendiri.
Alumnus STFK Ledalero itu kemudian menjelaskan bahwa sebagaimana sejarah
bangsa-bangsa adalah sejarah para pemenang, begitu jugalah sejarah di Indonesia
atau Papua pada khususnya adalah sejarah para pemenang.
“Kita memang sulit menentukan opsi
perjuangan kita di sana. Di satu sisi Orang Papua dituduh separatis dan di sisi
lain mereka sering menjadi korban penembakan dan kriminalisasi oleh aparat keamanan
dan para penegak hukum. Namun demikian, jika kita secara jernih melihat sejarah
‘bangsa’ Papua, sebenarnya mereka adalah orang-orang yang ditindas dan yang hak-haknya dicaplok. Mereka dituduh
membangkang terhadap Undang-Undang. Padahal mereka menjalankan Undang-Undang (Dasar),
yang salah satu poin di dalamnya adalah kemerdekaan ialah hak segala bangsa.
Dalam hal ini, masyarakat Papua hanya butuh satu hal, yakni pengakuan,” kata
Flori Geong.
“Sebagai
pejuang HAM, kita tentu merasa tidak nyaman dengan segala bentuk pelanggaran
HAM yang terjadi di Papua. Lebih-lebih, ketika melihat aktor-aktor di balik
tindakan-tindakan itu adalah pihak-pihak keamanan dan para penegak hukum.
Ketika pelaku pelanggaran HAM adalah aparat keamanan dan para penegak hukum,
sulit sekali bagi kami untuk melakukan advokasi karena mereka dilindungi sistem,”
lanjut Flori.
Sebelum mengatakan hal itu,
Florianus Geong, terlebih dahulu mengisahkan suatu pengalaman menarik yang dia
alami di tanah Papua. Diceritakan bahwa suatu malam, ketika ia masih
beristirahat di tempat kerjanya, ia mendengar seorang pemabuk menyanyikan
sebuah lagu yang syairnya sebagai berikut: “Mabuk ditembak Polisi, tidak mabuk
ditembak Tentara.” Pengalaman kecil ini menurut Flori, memantik rasa ingin
tahunya tentang persoalan mendasar yang dialami oleh masyarakat Papua.
“Setelah kurang lebih beberapa tahun
bekerja di tanah Papua, akhirnya saya memahami latar belakang munculnya
gerakan-gerakan separatis di Papua. Hal itu terletak pada sejarah dan sistem
politik,” tegas Flori Geong.
Ketika ditanyai tentang upaya yang
dilakukan oleh para pejuang HAM di Papua untuk pelan-pelan mengubah sistem yang
ada, Flori Geong menjawab bahwa pertanyaan itu sebenarnya terlalu berat untuk
dijawab. Kenyataan di Papua menunjukkan, pihak keamanan dan para penegak hukum
sering menjadi aktor utama di balik penindasan yang dialami oleh masyarakat
Papua. Namun demikian, demikian Flori, untuk beberapa kasus pelanggaran HAM
upaya-upaya advokasi sudah dilakukan meskipun nyawa sering menjadi taruhannya.
Dalam sesi Diskusi, Fr. Chelo
Gunadi, SVD, yang saat ini sedang menjalankan TOP di Truk-F Maumere bertanya
tentang kontribusi Gereja dalam mengatasi masalah pelanggaran HAM di Papua.
“Gereja di Papua sejauh ini belum
terlalu berpengaruh atau singkatnya belum menunjukkan keterlibatan yang besar
terhadap upaya mengatasi pelanggaran HAM yang dialami masyarakat Papua,” jawab
Flori.
“Keterlibatan Gereja untuk mengatasi
masalah yang dialami oleh masyarakat Papua sebenarnya sangat dibutuhkan. Dan
sejauh ini, yang lebih banyak memilih jalan itu lebih banyak Jemaat-Jemaat dari
Gereja Protestan. Sedangkan Gereja Katolik belum menunjukkan keterlibatan yang
signifikan. Hal ini menjadi tantangan sekaligus menjadi refleksi bagi Gereja
pada umumnya dan SVD pada khususnya” tandas Flori.
Pada penghujung kegiatan diskusi,
Frater Peter Tan, SVD mewakili moderator Pater Oto Gusti, SVD yang saat ini
masih menjalankan kursus di Australia, menyampaikan ucapan terima kasih kepada
narasumber Florianus Geong yang telah merelakan waktu dan tenaganya untuk
berdiskusi dan bertukarpikiran dengan Para Frater Seminari Tinggi Ledalero.
Ucapan terima kasih yang sama
disampaikan kepada utusan dari TRuK-F Maumere yang juga telah bersedia hadir
dalam diskusi bersama Para Frater dari kelompok minat KMK dan Forum Diskusi
Filsafat Ledalero. Sebelum doa penutup, Frater Peter menyerahkan sebungkus kado
sebagai kenang-kenagan untuk narasumber Florianus Geong. (Fr. Ferdi Jehalut,
SVD)
No comments:
Post a Comment