Wednesday, September 13, 2017

“Mabuk Ditembak Polisi Tidak Mabuk Ditembak Tentara”



Seminariledalero.org – Kelompok Minat Menulis di Koran (KMK) dan Forum Diskusi Filsafat Ledalero gelar diskusi pertama tahun ajaran 2017/2018, Jumat, (18/08/2017). Diskusi berlangsung di ruangan Osias Filosofan dan dimoderasi oleh Fr. Rio Nanto, SVD dengan narasumber Florianus Geong, S.Fil.
            Hadir dalam diskusi ini para anggota KMK dan Forum Diskusi Filsafat Ledalero dan utusan dari Team Relawan untuk Kemanusiaan Flores (TRuK-F) Maumere. Disaksikan seminariledalero.org, diskusi berlangsung lancar.
            Dalam bagian awal materinya, Florianus Geong menguraikan secara singkat sejarah dan dua  masalah pokok yang sedang dialami oleh masyarakat Papua saat ini yang menjadi tantangan sekaligus menjadi perhatian utama para pejuang HAM di sana. Kedua masalah itu ialah ancaman separatis dan kasus pelanggaran HAM berupa penembakan dan modus-modus lainnya.
            “Jika kita berbicara tentang Papua saat ini, kita tidak bisa terlepas dari kedua masalah itu. Banyak orang bahkan Pemerintah Indonesia sendiri keliru menangkap persoalan utama masyarakat Papua. Persoalan utama masyarakat Papua bukan terletak pada keterbelakangan dan ketertinggalan pembangunan, melainkan terletak pada bahaya ancaman separatis dan pelanggaran HAM dalam berbagai macam modusnya,” tegas Florianus Geong yang adalah seorang pejuang HAM yang tergabung dalam Yayasan Teratai Hati Papua.
            Menurutnya, akar munculnya gerakan-gerakan separatis di Papua dapat ditemukan dalam sejarah tanah Papua itu sendiri. Alumnus STFK Ledalero itu kemudian menjelaskan bahwa sebagaimana sejarah bangsa-bangsa adalah sejarah para pemenang, begitu jugalah sejarah di Indonesia atau Papua pada khususnya adalah sejarah para pemenang.
            “Kita memang sulit menentukan opsi perjuangan kita di sana. Di satu sisi Orang Papua dituduh separatis dan di sisi lain mereka sering menjadi korban penembakan dan kriminalisasi oleh aparat keamanan dan para penegak hukum. Namun demikian, jika kita secara jernih melihat sejarah ‘bangsa’ Papua, sebenarnya mereka adalah orang-orang yang ditindas dan  yang hak-haknya dicaplok. Mereka dituduh membangkang terhadap Undang-Undang. Padahal mereka menjalankan Undang-Undang (Dasar), yang salah satu poin di dalamnya adalah kemerdekaan ialah hak segala bangsa. Dalam hal ini, masyarakat Papua hanya butuh satu hal, yakni pengakuan,” kata Flori Geong.
“Sebagai pejuang HAM, kita tentu merasa tidak nyaman dengan segala bentuk pelanggaran HAM yang terjadi di Papua. Lebih-lebih, ketika melihat aktor-aktor di balik tindakan-tindakan itu adalah pihak-pihak keamanan dan para penegak hukum. Ketika pelaku pelanggaran HAM adalah aparat keamanan dan para penegak hukum, sulit sekali bagi kami untuk melakukan advokasi karena mereka dilindungi sistem,” lanjut Flori.
            Sebelum mengatakan hal itu, Florianus Geong, terlebih dahulu mengisahkan suatu pengalaman menarik yang dia alami di tanah Papua. Diceritakan bahwa suatu malam, ketika ia masih beristirahat di tempat kerjanya, ia mendengar seorang pemabuk menyanyikan sebuah lagu yang syairnya sebagai berikut: “Mabuk ditembak Polisi, tidak mabuk ditembak Tentara.” Pengalaman kecil ini menurut Flori, memantik rasa ingin tahunya tentang persoalan mendasar yang dialami oleh masyarakat Papua.
            “Setelah kurang lebih beberapa tahun bekerja di tanah Papua, akhirnya saya memahami latar belakang munculnya gerakan-gerakan separatis di Papua. Hal itu terletak pada sejarah dan sistem politik,” tegas Flori Geong.
            Ketika ditanyai tentang upaya yang dilakukan oleh para pejuang HAM di Papua untuk pelan-pelan mengubah sistem yang ada, Flori Geong menjawab bahwa pertanyaan itu sebenarnya terlalu berat untuk dijawab. Kenyataan di Papua menunjukkan, pihak keamanan dan para penegak hukum sering menjadi aktor utama di balik penindasan yang dialami oleh masyarakat Papua. Namun demikian, demikian Flori, untuk beberapa kasus pelanggaran HAM upaya-upaya advokasi sudah dilakukan meskipun nyawa sering menjadi taruhannya.
            Dalam sesi Diskusi, Fr. Chelo Gunadi, SVD, yang saat ini sedang menjalankan TOP di Truk-F Maumere bertanya tentang kontribusi Gereja dalam mengatasi masalah pelanggaran HAM di Papua.
            “Gereja di Papua sejauh ini belum terlalu berpengaruh atau singkatnya belum menunjukkan keterlibatan yang besar terhadap upaya mengatasi pelanggaran HAM yang dialami masyarakat Papua,” jawab Flori.
            “Keterlibatan Gereja untuk mengatasi masalah yang dialami oleh masyarakat Papua sebenarnya sangat dibutuhkan. Dan sejauh ini, yang lebih banyak memilih jalan itu lebih banyak Jemaat-Jemaat dari Gereja Protestan. Sedangkan Gereja Katolik belum menunjukkan keterlibatan yang signifikan. Hal ini menjadi tantangan sekaligus menjadi refleksi bagi Gereja pada umumnya dan SVD pada khususnya” tandas Flori.
            Pada penghujung kegiatan diskusi, Frater Peter Tan, SVD mewakili moderator Pater Oto Gusti, SVD yang saat ini masih menjalankan kursus di Australia, menyampaikan ucapan terima kasih kepada narasumber Florianus Geong yang telah merelakan waktu dan tenaganya untuk berdiskusi dan bertukarpikiran dengan Para Frater Seminari Tinggi Ledalero.
            Ucapan terima kasih yang sama disampaikan kepada utusan dari TRuK-F Maumere yang juga telah bersedia hadir dalam diskusi bersama Para Frater dari kelompok minat KMK dan Forum Diskusi Filsafat Ledalero. Sebelum doa penutup, Frater Peter menyerahkan sebungkus kado sebagai kenang-kenagan untuk narasumber Florianus Geong. (Fr. Ferdi Jehalut, SVD)

No comments:

Post a Comment