Di hadapan peserta diskusi, Fr. Harris
Meo Ligo, SVD sebagai moderator menegaskan bahwa kegiatan diskusi ini menjadi
suatu momen istimewa untuk menimba pengetahuan baru tentang kesusastraan
Indonesia teristimewa spirit Alisjahbana yang berjasa bagi Sastra Indonesia.
Mengawali diskusi, Fr. Harris membacakan salah satu karya Bung Takdir “Hidup
dunia hanya sekali” diiringi dengan pertunjukan biola tunggal Fr. Krisna, SVD
yang memberi sensasi seni tersendiri dalam musikalisasi puisi.
“Bagi saya merawat ingatan tentang
Takdir Alisjahbana adalah suatu momen refleksi untuk menimba spiritnya dalam
konteks perkembangan sastra sekarang. Bukan bermaksud menjiplak karyanya, tetapi
meneladani hidup, ide-ide dan gagasan demi kemajuan bangsa. Bung Takdir selalu
memantik kesadaran berpikir para sastrawan Indonesia mendiskusikan berbagai
permasalahan melalui pendekatan budaya dan kemanusiaan. Dalam konteks sekarang
komunitas pegiat sastra perlu merawat dan mempertajam daya analisis untuk
membangun bangsa melalui sastra,”
kata Fr. Mario
Kali, SVD.
Mahasiswa tingkat III Sekolah Tinggi
Filsafat Katolik (STFK) Ledalero, Fr. Mario Kali, SVD menambahkan, “Dalam karya sastra perlu memperjuangkan
suatu nilai. Misalnya, memperjuangkan
nilai estetis, nilai ekonomis maupun nilai politis. Melalui nilai-nilai ini, sastra memiliki jiwa untuk diperjuangkan,”
kata Fr. Mario Kali, SVD.
Pada bagian diskusi, Fr. Selo Lamatapo,
SVD mempertanyakan tentang esensi sastrawan yang merenung dalam kesunyian, tetapi dibaptis menjadi sastrawan dan corak khas sastra NTT. Berkaitan
dengan ini, Fr. Mario Kali, SVD
menjelaskan, “Ada dua model sastrawan yaitu sastrawan
reflektif dan sastrawan sosial. Model sastrawan pertama tampak dalam model
puisi dalam bentuk doa, pujian dan produk kontemplasi. Sedangkan sastrawan
sosial selalu bergelut dengan persoalan sosial setiap hari,” kata Fr. Mario.
Dalam kaitan
dengan sastra NTT, Fr. Rio Nanto, SVD menerangkan: “Sastra perlu berpihak pada korban. Dalam konteks NTT yang
memiliki kompleksitas persoalan politis dan lingkungan, Sastra menjadi wahana
baru untuk memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan,” kata Fr. Rio Nanto, SVD.
Diskusi ini berjalan lancer dan sangat menarik sebab didukung oleh Jos
Frei Akustik yang menghadirkan musisi dan penyanyi terbaik Ledalero seperti Fr.
Vian Suhardi, SVD, Fr. Tantis Huler, SVD dan Fr. Willy Radho, SVD. Pilihan lagu
yang kontekstual dengan subtansi diskusi membuat peserta terinspirasi untuk membangun
wajah baru dalam sastra di Ledalero.
Di akhir diskusi, Moderator Fr. Harris
Meo, SVD tidak memberikan komentar pamungkas. “Setiap kita dituntut untuk
selalu berdiskusi tentang sastra baik di unit, Kampus dan melalui wahana
diskusi lainnya. Sastra adalah
misi kita bersama. Mari kita selalu membuka ruang diskursus untuk mengkontekstualisasikan pemikiran Sutan Takdir Alisjahbana dalam
konfrontasi dengan geliat sastra sekarang”, kata Fr. Harris Meo, SVD disambut dengan tepukan tangan oleh seluruh
peserta yang hadir.
No comments:
Post a Comment