Thursday, September 21, 2017

Unit St. Yosef Freinademetz Berbincang Sastra





Seminariledalero. Org - Unit St. Yosef Freinademetz Ledalero menggelar bincang-bincang sastra yang berlangsung pada Rabu (20 September 2017) pukul 20.15 malam. Pemakalah utama dalam kegiatan ini adalah Fr. Mario Dominggo Elia Kali, SVD yang mengangkat sosok Sutan Takdir Alisjahbana dalam judul “Siapa Setelah Takdir? Sebingkis Refleksi Sastrawi dalam Usaha Merawat Ingatan akan Bung Takdir Alisjahbana”. Kegiatan ini menjadi agenda bulanan para Frater Unit St. Yosef Freinademetz untuk mendalami dan mempelajari pemikiran para Filsuf maupun Sastrawan.
Di hadapan peserta diskusi, Fr. Harris Meo Ligo, SVD sebagai moderator menegaskan bahwa kegiatan diskusi ini menjadi suatu momen istimewa untuk menimba pengetahuan baru tentang kesusastraan Indonesia teristimewa spirit Alisjahbana yang berjasa bagi Sastra Indonesia. Mengawali diskusi, Fr. Harris membacakan salah satu karya Bung Takdir “Hidup dunia hanya sekali” diiringi dengan pertunjukan biola tunggal Fr. Krisna, SVD yang memberi sensasi seni tersendiri dalam musikalisasi puisi.
“Bagi saya merawat ingatan tentang Takdir Alisjahbana adalah suatu momen refleksi untuk menimba spiritnya dalam konteks perkembangan sastra sekarang. Bukan bermaksud menjiplak karyanya, tetapi meneladani hidup, ide-ide dan gagasan demi kemajuan bangsa. Bung Takdir selalu memantik kesadaran berpikir para sastrawan Indonesia mendiskusikan berbagai permasalahan melalui pendekatan budaya dan kemanusiaan. Dalam konteks sekarang komunitas pegiat sastra perlu merawat dan mempertajam daya analisis untuk membangun bangsa melalui sastra,kata Fr. Mario Kali, SVD.
Mahasiswa tingkat III Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero, Fr. Mario Kali, SVD menambahkan, “Dalam karya sastra perlu memperjuangkan suatu nilai. Misalnya, memperjuangkan nilai estetis, nilai ekonomis maupun nilai politis. Melalui nilai-nilai ini, sastra memiliki jiwa untuk diperjuangkan,” kata Fr. Mario Kali, SVD.
Pada bagian diskusi, Fr. Selo Lamatapo, SVD mempertanyakan tentang esensi sastrawan yang merenung dalam kesunyian, tetapi dibaptis menjadi sastrawan dan corak khas sastra NTT. Berkaitan dengan ini, Fr. Mario Kali, SVD menjelaskan, Ada dua model sastrawan yaitu sastrawan reflektif dan sastrawan sosial. Model sastrawan pertama tampak dalam model puisi dalam bentuk doa, pujian dan produk kontemplasi. Sedangkan sastrawan sosial selalu bergelut dengan persoalan sosial setiap hari,” kata Fr. Mario.
Dalam kaitan dengan sastra NTT, Fr. Rio Nanto, SVD menerangkan: “Sastra perlu berpihak pada korban. Dalam konteks NTT yang memiliki kompleksitas persoalan politis dan lingkungan, Sastra menjadi wahana baru untuk memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan,” kata Fr. Rio Nanto, SVD.
Diskusi ini berjalan lancer dan sangat menarik sebab didukung oleh Jos Frei Akustik yang menghadirkan musisi dan penyanyi terbaik Ledalero seperti Fr. Vian Suhardi, SVD, Fr. Tantis Huler, SVD dan Fr. Willy Radho, SVD. Pilihan lagu yang kontekstual dengan subtansi diskusi membuat peserta terinspirasi untuk membangun wajah baru dalam sastra di Ledalero.
Di akhir diskusi, Moderator Fr. Harris Meo, SVD tidak memberikan komentar pamungkas. “Setiap kita dituntut untuk selalu berdiskusi tentang sastra baik di unit, Kampus dan melalui wahana diskusi lainnya. Sastra adalah misi kita bersama. Mari kita selalu membuka ruang diskursus untuk mengkontekstualisasikan pemikiran Sutan Takdir Alisjahbana dalam konfrontasi dengan geliat sastra sekarang”, kata Fr. Harris Meo, SVD disambut dengan tepukan tangan oleh seluruh peserta yang hadir.

Penulis: Fr. Rio Nanto, SVD

No comments:

Post a Comment