kegiatan bedah buku puisi |
Antologi
puisi ini berisikan 61 puisi yang masing-masing ditulis oleh Fr. Dennis Hayon
SVD (13 puisi), Fr. Mario Dominggo Elia Kali SVD (13 puisi), Fr. Selestinus
G.N. Botoor SVD (13 puisi), Fr. Virgilius Bere SVD (10 puisi), dan Fr. Yohanis
Parlindungan Sitinjak SVD (12 puisi). Kelima Frater yang saat ini tercatat
sebagai mahasiswa Semester IV pada STFK Ledalero ini merupakan anggota
Komunitas Arung Sastra Ledalero (ASAL).
Kelima penyair dalam pengantar antologi ini
mengungkapkan antologi puisi ini lahir dari persetujuan bersama mereka untuk
mengumpulkan dan mengabadikan puisi-puisi mereka dalam satu buku. Antologi ini
merupakan salah satu langka awal mereka dalam menggeluti dunia kesusastraan.
“Persetujuan ini muncul dari duduk-duduk bersama kami
yang secara tidak sengaja menyentil niat untuk menerbitkan antologi puisi. Niat
ini kemudian kami perjuangkan agar segera terealisasi. Kami menyadari bahwa
kehadiran antologi ini telah melibatkan begitu banyak orang, untuk semua mereka
kami sampaikan terima kasih yang mendalam,” tulis kelima penyair dalam
pengantar buku.
Pater Fredy Sebho, SVD dalam kata pengantarnya pada
buku ini mengungkapkan para penyair dalam antologi puisi ini tidak hanya ikhlas
membiarkan imajinasinya berkelana tak tahu arah, tetapi juga secara apik
menggunakan disiplin berpikirnya. Para penyair, tulis Pater Fredy, memiliki
gaya dan pilihan kata yang energik. “Bahasa mereka memiliki kulit, bukan
sembarang kulit melainkan kulit yang bergetar karena gairah,” tulis Pater
Fredy.
Lebih lanjut, Dosen Teologi Moral pada STFK Ledalero
ini mengungkapkan kelima penyair pandai membujuk dan merayu para pembaca
melalui diksi-diksi yang memesona. “Barangkali tidak salah kalau saya
mengatakan bahwa tulisan mereka selalu mengandung kemungkinan yang tak mungkin
terselesaikan, tetapi enak untuk terus dijejaki sambil memeluk penasaran yang
tak bertepi,” tulis Pater Ferdy.
Sementara Gusty Fahik, salah satu perintis Komunitas
ASAL pada 2009/2010, dalam epilognya menulis seperti hidup, puisi selalu
mengandung kontradiksi. “Demikianlah yang saya temukan dalam untaian
puisi-puisi dalam antologi Perhentian
Pagi ini” tulis Gusty Fahik.
“Pun seumpama perjalanan, puisi memberi aneka kejutan tidak
terduga yang bisa membuat orang terhenyak dalam takjub atau terbuai dalam diam
yang memukau. Puisi juga ibarat potongan ziarah melewati lintasan ruang dan
waktu, yang barangkali bisa dijadikan sebuah titik perenungan untuk dapat
melampaui ziarah itu sendiri,” tulis Gusty, yang saat ini bergiat di Institut
Sophia Kupang dan aktif menulis di berbagai media cetak lokal di NTT.
Penulis ;
Kristo Suhardi
|
No comments:
Post a Comment